Ketika mendengar ucapan Sekjen Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahjandarie yang pada intinya mengatakan kuliah itu bersifat tersier. Artinya, tidak wajib hukumnya. Sebab ada syarat dan ketentuan berlaku di dalamnya.
Ucapan tersebut muncul menanggapi isu UKT mahal yang belakangan ini merebak. Ucapan ini akhirnya menjadi bola tanggung yang langsung di-smash berbagai pihak, termasuk anggota DPR.
Mendengar ucapan Tjitjik ini, pikiran pun melayang ke sebuah dialog singkat di kelas XII SMA pinggiran kota. Sebuah wilayah suburban, batas antara perkotaan dan perkampungan.
"Anak-anak, dari 36 dari kalian, siapa yang ingin kuliah?" tanya Pak Guru.
Hanya sekitar separuh anak yang mengacungkan tangananya.
"Yang masih ragu-ragu?" tanya Pak Guru lagi melihat beberapa anak tampak ragu-ragu.
Mengacung lagi 5 anak.
"Lainnya?"
"Bekerja, Pak," sahut salah satu di antaranya.
"Di mana?"
"Belum tahu."
Dialog singkat ini tersaji di sebuah sekolah pinggiran menggambarkan betapa bangku kuliah bukan segalanya bagi sebagian anak. Beberapa anak menyatakan kemauan kuatnya, sebagian ragu-ragu, dan sebagian lagi mantap untuk bekerja.
Jika diamati, faktor ekonomi menjadi faktor utama. Ada tiga strata di kelas tersebut, dari mulai yang mampu, kelas menengah yang ragu-ragu dengan kemampuannya, dan ketiga jelas tidak mampu.
Inilah realita yang ada di masyarakat saat ini. Suka atau tidak, itu kenyataannya. Sebagian masyarakat memang tidak membutuhkan bangku kuliah untuk masa depan mereka untuk masa depannya.
Sebab saat mereka massih sekolah pun, sebagian anak sudah hidup di dua alam. Mereka juga bekerja di sela-sela kegiatan belajarnya. Sehingga wajar jika prestasi akademik mereka pun tidak secemerlang anak lain yang fokus dengan belajarnya.
Golongan inilah yang pada dasarnya memandang bangku kuliah bukan segalanya. Mereka memilih bekerja sesuai dengan bekal yang dimilikinya, karena tidak ada pilihan lain.
Maka seharusnya yang menjadi pemikiran pemerintah justru menyasar pada beberapa anak yang secara ekonomi tidak mampu, namun kemampuan akademik mereka sangat bagus.
Penyediaan bea siswa yang tepat sasaran menjadi cara untuk memfasilitasi mereka. Sebab bukan tidak mungkin mereka dapat lahir sebagai generasi cemerlang pada saatnya.
Termasuk pula kisruh tentang pembelian KIP Kuliah yang disinyalir salah sasaran. Verifikasi yang lebih valid dari kampus sangat diperlukan untuk mengatasi kebocoran ini, termasuk pemberian sangsi bagi pelanggarnya.
Jika hal ini dapat dilakukan dengan baik, kenaikkan UKT bisa menjadi sarana subsidi silang bagi kelompok tertentu yang lebih membutuhkan.
Lembah Tidar, 25 Mei 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI