Peristiwa kecelakaan yang menimpa rombongan siswa dan guru SMK Lingga Kencana Depok pada Sabtu (11/5/2024) di Subang, mengundang perdebatan di ruang publik. Musibah yang menelan 11 orang ini dianggap sebagai salah satu alasan pelarangan terhadap kegiatan study tour yang dilakukan sekolah.
Sebagian pihak menyebut kegiatan ini sebagai kegiatan yang tidak bermanfaat. Bahkan cenderung mengarah pada penghambur-hamburan uang atau dengan kata lain foya-foya.
Sementara itu, kecelakaan karena kegiatan study tour yang dilakukan sebuah sekolah, bukan hanya sekali ini. namun entah mengapa ketika peristiwa ini terjadi, reaksi Masyarakat demikian hebat. Bahkan ada yang memojokkan sekolah sebagai penyelenggara.
Demikian pula dengan beberapa instansi. Seperti baru-baru ini dikeluarkan oleh Disdikbud Provinsi Jateng. Instansi ini mengeluarkan edaran larangan sekolah (negeri) untuk mengadakan kegiatan study tour dengan alasan tertentu.
Berbagai reaksi ini menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang reaktif atau dengan istilah lain sumbu pendek. Mereka begitu cepat bereaksi dan mengambil kesimpulan atas suatu masalah. Setelah itu dengan mudahnya menunjuk pihak-pihak tertentu sebagai tertuduh.
Padahal, jika mau dicermati penyebab kecelakaan tersebut bukan pada sekolah tersebut, akan tetapi alat transportasi yang digunakan. Tidak laiknya alat transportasi yang digunakan adalah penyebab utamanya.
Seandainya kondisi alat transportasi yang digunakan sesuai dengan kondisi seharusnya, musibah tersebut tidak akan terjadi. Maka ibarat orang memukul, tudingan ini salah sasaran.
Demikian pula dengan pemerintah, dalam hal ini pihak-pihak terkait. Menyeruak kemudian tentang uji kir yang sudah kedaluarsa, kondisi rem yang sudah tidak layak, hingga modifilkasi bus yang menyalahi aturan.
Kemudian kesalahan pun ditimpakan pada pihak pemilik bus. Padahal sebelumnya mereka telah lolos uji kir sebelum kir itu kedaluarsa. Maka seharusnya penyimpangan dalam  modifikasi seharusnya sudah menjadi temuan jauh hari sebelumnya.
Hal-hal ini justru tidak menjadi perhatian masyarakat. Kesimpulan yang diambil dengan melarang study tour dianggap sebagai cara ampuh untuk mencegah semua itu. Dengan mudahnya menimpakan kesalahan pada salah satu pihak, mengedepankan emosi dibandingkan nalar.
Maka langkah yang seharusnya justru menata kegiatan study tour itu sendiri. Termasuk membuat regulasi pelaksanaan study tour bagi sekolah. Sebab keterlibatan aktif sekolah dalam merencanakan kegiatan tersebut termasuk campur tangan terhadap biro yang dipercaya menjadi hal yang krusial.
Termasuk di antaranya dalam penentuan alat transpotasi yang akan digunakan. Sebab biasanya sekolah pasrah masalah tersebut pada biro. Dengan menerapkan budget yang standar, maka dapat dipastikan alat tranportasi yang digunakan pun pasti akan memenuhi standar.
Study tour sendiri pada dasarnya bukannya tidak bermanfaat. Banyak hal yang dapat diperoleh siswa dari kegiatan ini.
Maka sungguh menjadi tidak bijak jika melarang kegiatan ini semata-mata hanya karena kecelakaan yang terjadi.
Lembah Tidar, 16 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H