Pengumuman kelulusan SMA/SMK tahun Pelajaran 2023/2024 telah dilaksanakan kemarin, Selasa (6/5/2024). Semua terasa adem, tidak ada greget sama sekali. Ibarat makanan, tidak ada rasanya sama sekali. Kata orang Jawa, anyep (tawar).
Sebuah hal yang patut disyukuri, karena tidak ada hingar-bingar arak-arakan atau corat-coret seperti beberapa tahun sebelumnya. Dalam pandangan pihak berwajib, jelas ini mengurangi tugas mereka. Semua aman terkendali.
Namun di balik semua itu, ada kekhawatiran yang muncul dari kalangan pendidik. Kekhawatiran ini jika tidak segera diatasi berpotensi berdampak buruk pada anak-anak kita. Hal ini sudah terlihat selama proses pembelajaran berlangsung hingga pelaksanaan evaluasi atau ujian.
Saat menjalani evaluasi atau ujian, tampak tidak ada motivasi anak untuk mengerjakan soal-soal yang tersaji. Mereka terkesan mengerjakan semampunya saja, tidak ada keinginan kuat untuk meraih nilai sempurna seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Secara nalar, apa yang mereka lakukan tidak salah. Sebab, syarat kelulusan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak menyebut syarat kelulusan yang sulit.
Menurut pedoman yang dikeluarkan pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud Ristek, hanya ada 3 hal:
- Menyelesaikan seluruh program pembelajaran
- Mengikuti penilaian sumatif yang diselenggarakan oleh satuan Pendidikan
- Mempertimbangkan laporan kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian peserat didik pada semua mata Pelajaran dan ekstrakurikuler, serta prestasi yang diraih
Dari 3 syarat tersebut, sama sekali tidak menyebut standar kelulusan yang harus dicapai anak-anak. Hal berbeda terjadi pada beberapa tahun yang lalu saat penentuan kelulusan ditentukan dari nilai minimal yang harus dicapai anak.
Maka tidak heran jika saat itu anak-anak benar-benar berpacu untuk meraih standar kelulusan yang telah ditentukan. Ada ketakutan mereka tidak mampu mencapai standar minimal tersebut.
Upaya inilah yang membuat ujian atau evaluasi pada saat itu tampak ada gregetnya. Tidak tampak anak yang santai ketika menghadapi ujian penentuan kelulusan. Muncul juga motivasi meraih nilai terbaik untuk memudahkan mengikuti pendidikan di jenjang lebih tinggi.
Hal ini diperparah dengan penerapan sistim zonasi yang diterapkan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya. Sistim yang hanya mensyaratkan jarak sekolah dengan tempat tinggal membuat sebagian besar anak-anak tidak mempunyai motivasi belajar.
Bagi mereka yang tinggal di dekat sekolah yang dituju, rasa aman pasti sudah didapat. Namun bagi anak yang tinggal jauh dari sekolah yang diincar, harus memupus harapan karena jarak rumah tinggal yang terlalu jauh.
Dua hal inilah yang membuat hilangnya jiwa petarung pada anak-anak saat ini. Sebab untuk meraih status kelulusan ataupun mendapatkan kursi di jenjang Pendidikan lebih tinggi tidak dibutuhkan syarat yang terlalu sulit.
Maka dapat disimpulkan hilangnya jiwa petarung ini hilang karena sistim yang ada saat ini.
Lembah Tidar, 7 Mei 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H