Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dilematika Guru Wanita Zaman Sekarang, Pilihan antara Karier dan Keluarga

31 Januari 2024   21:01 Diperbarui: 31 Januari 2024   21:04 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyaksikan kiprah para guru zaman sekarang membuat geleng-geleng kepala. Aktivitas keseharian mereka benar-benar luar biasa, tak ubahnya para wanita karier di kota-kota besar. Pemandangan yang tidak mungkin ditemukan 30-40 tahun yang lalu.

Ditilik dari penampilannya saja jelas jauh berbeda. Guru-guru Wanita dahulu lekat dengan kesederhanaan penampilan demikian pula dalam bertutur kata maupun tingkah laku. Semuanya tertata begitu rapi.

Guru-guru Wanita zaman sekarang sangat jauh berbeda. Tuntutan Pendidikan modern mengubah mereka. Kemampuan IT, kemampuan komunikasi yang lebih cair ditambah dengan kesigapan dalam melakukan apapun menjadi hal yang harus dimiliki.

Sehingga jangan pernah berharap menemukan guru zaman sekarang dengan penampilan guru tahun 70 atau 80-an. Pasti tidak akan pernah ada.

Namun di balik semua itu, terdapat sisi yang kini mulai dirasakan terkait kemampuan mereka berada di beberapa lingkungan dalam waktu yang sama. Mereka dihadapkan pada dilematika saat membagi waktu mereka di sekolah, rumah, dan lingkungan sekitar.

Kesibukan yang semakin menumpuk membuat mereka harus Menyusun skala prioritas. Hal semakin sulit manakala sekolah tempat guru Wanita mengajar menerapkan fulldays scholl.

Dengan penerapan fulldays scholl dapat dipastikan waktu sang guru akan lebih banyak berada di sekolah. Mereka akan menjadikan sekolah sebagai rumah kedua, mulai dari jam 6 pagi saat keluar dari rumah, hingga jam setengah lima sore saat masuk ke rumah lagi.

Sehingga jika dihitung mereka berada di sekolah sekitar 10 jam sehari. Artinya hanya tersisa 14 jam untuk segala hal yang ada di rumah dan lingkungan. Itu pun masih dikurangi saat istirahat di malam hari.

Situasi semacam ini berakibat ada yang harus dikorbankan. Sisi yang harus dikorbankan apalagi kalau bukan keluarga dan interaksi dengan lingkungan. Sebab mereka telah kehabisan energi dan waktu.

Memang ada guru wanita yang mampu memenej semua itu dengan baik. Namun ketika tuntutan tugas tiba-tiba memanggil maka tuntutan tersebutlah yang akan didahulukan.

Situasi semacam ini tidak ditemukan pada guru-guru zaman dahulu. Mereka menjalani profesi guru dalam tataran wajar. Setiap jam 2 siang sudah berada di rumah, tanpa dibebani berbagain tugas administrasi yang menggunung.

Saat mereka di rumah inilah saat membina interaksi dengan keluarga maupun lingkungan. Mereka menjadi sosok yang menjadi bagian tak terpisahkan bagi keluarga maupun masyarakat. Peran mereka di masyarakat sangat terlihat sekali.

Dalam situasi semacam ini kompetensi sosial mereka pun berkembang dengan wajar. Interaksi dengan keluarga dan masyarakat berlangsung begitu hangat. Akhirnya para guru menjadi bagian tak terpisahkan di keluarga maupun masyarakat.

Lembah Tidar, 31 Januari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun