Di antara sekian banyak pernyataan pelatih Curacao, Remko Bincentini, mungkin pernyataan inilah yang menggambarkan suasana hati yang sesungguhnya. Dalam pernyataan menanggapi permainan kasar anak asuhnya dalam FIFA Matchday kemarin, terkesan jujur. Dikatakannya bahwa permainan kasar itu disebabkan anak-anak asuhnya masih muda dan tidak pernah membayangkan laga FIFA Matchday itu akan begitu sulit.
Untuk pernyataan pertama, mungkin bisa kita maklumi. Â Tidak beda dengan para pemain Indonesia, kemampuan mengendalikan emosi sering menjadi bumerang bagi tim. Keluarnya kartu kuning atau kartu merah, justru menjadi biang keladi rusaknya permainan tim. Ujung-ujungnya kekalahan yang harus diterima.
Untuk pernyataan kedua justru menjadi menarik. Mereka selama ini sangat buta dengan kekuatan Indonesia, tidak beda dengan kita yang bahkan tidak tahu dengan persis di mana letak Curacao itu. Yang mereka ketahui adalah lawan yang harus dihadapi berada pada ranking 155 dunia. Itu saja. Dus, kemampuannya pasti jauh di bawah mereka.
Simpulan yang telah mereka simpan di benak itu ternyata ambyar semuanya saat di lapangan. Bukannya jalan mulus yang mereka dapatkan. Jalan terjallah yang terpampang di depan mata. Permainan ngotot Indonesia jauh dari bayangan mereka. Keunggulan postur dan ranking yang mereka banggakan, runtuh seketika.
Kondisi semacam inilah yang tidak bisa mereka terima. Secara psikologis, perlawanan yang diakhiri dengan kekalahan dalam 2 pertandingan itu menghantam sisi harga diri mereka.Â
Akhirnya tensi tinggi pun tercipta pada pertandingan kedua. Upaya Curacao untuk membalas kekalahan pada laga pertama, justru menemui tembok tebal. Suntikan motivasi dan kemampuan pemain menerjemahkan taktik Shin Tae-yong terbukti membuat mereka kalang kabut.
Tensi tinggi dan penuh pelanggaran selama laga ini tidak terlihat pada laga pertama. Pada laga itu tensi tinggi memang ada, tapi akumulasi dan kualitas pelanggaran tidak sengeri pada laga kedua. Gol pada menit awal hasil tendangan Witan yang disempurnakan oleh Dimas Drajad, tak ubahnya sengatan sejuta tawon.Â
Dengan segala cara mereka berusaha mencari gol penyeimbang dan gol kemenangan. Namun apa mau dikata, justru permainan Indonesia semakin menggila. Gol balasan yang diceploskan pada awal babak kedua, justru menjadi motivasi tinggi Indonesia untuk lebih agresif. Dan hasilnya menjelang akhir laga, Dendy Sulistyawan menyempurnakan ikhtiar.
Berkaca dari situasi itu, tampaknya apa yang disampaikan sang pelatih benar adanya. Sisi psikologislah yang membuat permainan Curacao cenderung kasar hingga berujung kartu merah buat Juninho. Di sisi lain kemampuan sebagian besar pemain Indonesia untuk tidak terpancing menjadi faktor penting penentu kemenangan itu.
Lembah Tidar, 29 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H