"Tu, lihat temanmu. Baru lulus kuliah udah dapat kerjaan. Bagus lagi posisinya."
"Kamu enggak ingin po, seperti kakakmu? Study lancar, karir bagus, jodohnya orang bener-bener lagi."
"Kamu ini beda banget lho sama adikmu. Dia begitu penurut. Lha, kamu. Suka menentang, prestasi enggak jelas, nuntut macam-macam."
Pernah enggak kita mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini. Atau minimal mirip-miriplah dengan ungkapan ini. Atau jangan-jangan kita sendiri pernah melakukannya.
Nah kalau kita belum pernah melakukannya, berarti kita golongan orang yang beruntung. Karena tindakan semacam ini bagaimanapun juga, tidak layak untuk kita lakukan. Sedikit banyak hal ini akan melukai mereka yang dalam posisi kita banding-bandingkan.
Tapi kalau kita sudah pernah melakukan, rasanya sudah saatnya untuk kembali ke jalan yang benar. Berjanji untuk tidak mengulangi lagi tindakan ini, mekipun tujuan yang hendak kita capai benar.
Sadar atau tidak, seseorang pasti pernah melakukan tindakan ini. Biasanya saat kita dalam keadaan emosi, kalimat semacam ini akan muncul. Apalagi jika di dalamnya ada nada kecewa akan pencapaian seseorang. Entah dia anak atau teman kita sendiri. Ungkapan kecewa yang berlebihan, membuat kita mencari pembanding yang kita anggap seimbang dengan kesalahan yang telah mereka lakukan.
Tentu saja tidak setiap tindakan ini bertujuan jelek. Harus diakui, tindakan ini adalah sebuah langkah untuk memotivasi seseorang yang tengah mengalami kegagalan. Harapan yang muncul, semangat dia akan lahir kembali saat melihat pencapaian orang lain pada bidang yang sama. Keinginan untuk membuktikan bahwa mereka juga bisa seperti yang lain, menjadi motivasi utama.
Jika hal ini yang kemudian terjadi, maka langkah membanding-bandingkan tersebut berarti tepat sasaran. Namun jika yang terjadi sebaliknya, dijamin akan ambyar semuanya. Alih-alih mereka bangkit semangatnya. Mungkin saja justru muncul tekanan mendalam pada diri mereka.Â
Merasa dianggap sebagai seorang pecundang karena kegagalan itu, justru menjadi situasi yang membahayakan. Ungkapan yang sebenarnya merupakan sindiran halus, bukan tidak mungkin dianggap sebagai sebuah ungkapan penghinaan.