Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hak Itu Berbanding Lurus dengan Kewajiban

4 Agustus 2022   08:26 Diperbarui: 4 Agustus 2022   08:32 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi seorang guru tengah mengajar di depan kelas. (sumber gambar: suaramerdeka.com)

Pada suatu ketika, saya mendengar keluhan seorang guru. Apalagi yang dikeluhkan kalau bukan tugas menggunung yang harus diselesaikan. Rasanya yang kemarin belum selesai, eh datang lagi tugas yang lain. Belum lagi memenuhi tugas mengajar.

Mendengar keluhan itu, saya pengin tertawa, tapi takut dosa. Takut juga sang teman tadi tersinggung. Soalnya kalau lagi begini, biasanya orang sensi banget. Akhirnya, saya hanya tertawa dalam hati. Moga-moga sang teman tadi tidak bisa melihat hati saya. Soalnya kalau sampai bisa melihat, bisa berabe. Hehe ....

Situasi semacam ini saya yakin pasti tidak hanya terjadi di sini saja. Hampir di seluruh pelosok tanah air, para guru pun merasakan hal ini. Beban tugas yang makin berat, tuntutan atau pun target semakin melambung. Giliran kegagalan yang terjadi, kitalah yang disalahkan.

Ya, inilah yang namanya konsekuensi. Sejalan dengan peningkatan kesejahteraan yang kita terima, otomatis tuntutan atau pun target ditingkatkan. Jika dahulu hanya satu item saja, mungkin saja sekarang menjadi sepuluh item. Hal ini termasuk pula pola pengawasan terhadap kinerja kita.

Situasi semacam ini pasti tidak akan kita temukan pada 20 atau 30 tahun yang lalu. Saat guru hanya menjadi 'warga kelas dua'. Profesi guru bukanlah dambaan, ditinjau dari segi penghasilan. 

Orang-orang yang mau jadi guru, kebanyakan dari golongan menengah ke bawah. Sehingga tidak heran jika berbagai sekolah keguruan atau pun perguruan tinggi pencetak guru diisi dari kelompok-kelompok tersebut.

Impian mereka saat itu sangat sederhana sekali. Berhasil menyelesaikan pendidikan, lalu menggenggam status PNS Guru yang saat itu relatif mudah. 

Bahkan sebagian sudah menggenggam SK CPNS saat masih dalam proses pendidikan. Dalam artian, mereka nanti akan ditempatkan sesuai kebutuhan. Begitu lulus dan menjadi PNS Guru, hidup pun mengalir seadanya.

Berkaitan dengan berbagai tugas dan tuntutan atas profesi mereka, sangat sederhana sekali. Berbagai perangkat pembelajaran yang saat ini begitu rumit di mata sebagian guru, boleh dibilang tidak ditemukan. 

Target kurikulum yang membumbung hingga ke  langit ke tujuh, tidak ada. Pengawasan yang  begitu ketat hingga penggunaan presensi elektrik atau manual yang terorganisir, juga tidak ada. 

Semua berjalan apa adanya, proses belajar mengajar begitu alami tanpa ditunggangi berbagai program-program titipan.

Target tidak muluk-muluk pun ternyata berlaku pula pada kehidupan sehari-hari para guru. Kecilnya penghasilan yang mereka terima, membuat mereka harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Boleh dibilang kerja sambilan menjadi salah satu cara untuk pemenuhan itu. 

Bagi mereka mengajar dan memenuhi kebutuhan keluarga menjadi sesuatu yang sama pentingnya. Pemerintah sendiri melalui dinas terkait pun tidak mempermasalahkan, sejauh tugas utama mengajar tetap dilakukan.

Tiadanya tuntutan atau pun target-target muluk-muluk itu tentu saja merupakan sebuah konsekuensi. Ketidakmampuan pemerintah memberikan penghasilan yang memadai menjadi salah satu penyebabnya. Sehingga saat sang guru membanting tulang dengan kerja sambilan, menjadi sebuah hal yang patut dimaklumi pada saat itu.

Saat situasi keuangan negara semakin membaik, salah satunya ditandai dengan kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru, baik secara materiil maupun non materiil semua berubah. 

Deretan tuntutan dan target bagi seorang guru pun mulai rapi berbaris di belakang peningkatan kesejahteraan yang diberikan. Pengawasan kinerja pun, seakan menjadi paket lengkap. Guru tidak dapat lagi semau gue meninggalkan kelas seperti zaman dahulu.

Hal ini dipandang dari segi apapun adalah sesuatu yang lumrah. Ibarat kata tidak ada makan siang gratis. Demikian pula, tidak ada peningkatan kesejahteraan tanpa diikuti berbagai tuntutan atau pun target. 

Maka mau tidak mau, inilah yang harus dihadapi dan dilakukan para guru. Hak yang mereka terima harus berbanding lurus dengan kewajiban yang harus dilakukan. Ini yang namanya impas.

Lembah Tidar, 4 Agustus 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun