Sekitar sebulan yang lalu, saat Putin mengobarkan api perang baru di Ukraina, pasti bukan sebuah gerakan militer tanpa perhitungan. Pengerahan ribuan pasukan, lengkap dengan berbagai sarana pendukung militer, pasti membutuhkan banyak biaya. Termasuk di antaranya sumpah serapah yang akan diterimanya dari berbagai negara atas aksinya, Putin pasti sudah memperhitungkan.
Secara logika sederhana, Putin ingin membangkitkan lagi situasi polarisasi saat Perang Dingin berlangsung selama hampir 5o tahun. Polarisasi yang memaksa dunia untuk terbelah dalam 2 blok, Barat dan Timur, secara disadari tetap diperlukan. Sebab gejala semacam ini, meski banyak mudharatnya, tetap diperlukan. Karena paling tidak ini akan menjadi sarana penyeimbang, sekaligus pengingat bagi blok siapa pun saat bertindak.
Tak dapat kita ingkari, setelah runtuhnya Uni Sovyet dan Tembok Berlin, keseimbangan itu hilang. Negara-negara yang semula berada di pihak Uni Sovyet, ramai-ramai "melarikan diri". Sebagian ada yang memilih merdeka, dalam artian tidak terikat siapa pun. Namun sebagian lagi memilih untuk mengikatkan diri pada bloi lawan Uni Sovyet pada saat itu, Blok Barat.
Lem komunisme dengan segala kekakuannya yang diterapkan Moskow selama ini, seakan sudah tidak ada artinya lagi. Moskow sudah tidak mempunyai kekuatan apa pun untuk menahan para mantan sekutunya untuk berpindah ke lain hati. Pertimbangan ekonomi mungkin yang mereka pikirkan. Karena secara jujur, perkembangan ekonomi negara-negara Blok Barat lebih menjanjikan daripada Blok Timur (komunis).
Lain dengan saat Perang Dingin masih berlangsung. Satu gerakan sekecil apa pun di negara sekutu Uni Sovyet, maka dengan cepat dapat dilindas dan dipadamkan. Dengan kekuatan militernya, Moskow dengan mudah memakas merek untuk kembali ke barisan.
Demikian pula dengan situasi global. Uni Sovyet dengan gagah berani menghadapi setiap gerakan offensif Amerika Serikat di belahan bumi mana pun. Setiap Amerika Serikat melakukan sebuah tindakan agresif, maka dapat dipastikan Uni Sovyet akan berada di pihak lawan. Demikian pula sebalinya jika Uni Sovyet yang melakukan. Situasi semacam inilah yang secara tidak langsung menciptakan keseimbangan di dunia ini.
Namun saat Uni Sovyet hancur berkeping-keping, dunia mengalami perubahan aturan yang luar biasa. Amerika Serikat, sang negara adi kuasa, tidak mempunyai lawan yang seimbang. Lawan yang akan selalu menghadang apa pun langkah Amerika Serikat. Maka tidak heran jika kebenaran di dunia ini hanya diukur dari kaca mata mereka. Apa yang di mata mereka tidak pas, berarti harus dihukum. Hal ini tampak sekali dalam beberapa konflik di Timur Tengah.
Serangan Rusia terhadap Ukraina pada akhir Februari 2022, dengan alasan apa pun tetap disalahkan. Mereka secara sah telah melakukan invasi terhadap kedaulatan negara lain. Dan Putin tahu itu. Jaminan untuk tidak melakukan invasi, atau pun menarik pasukannya hanya retorika saja. Buktinya sampai hari ini rudal, artileri, dan heli perang maupun pesawat tempur Rusia tetap menghujani Ukraina.
Kenapa Putin masih terus melakukan itu? Karena Putin yakin bahwa Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tidak mungkin akan dengan gegabah menerjunkan pasukannya di wilayah Ukraina. Melakukan perlawanan langsung terhadap pasukan Rusia. Sekaligus mengenyahkan tentara Rusia dari tanah Ukraina.
Hal ini hampir mirip saat Perang Dunia II berlangsung. Selama rentang 6 tahun Perang Dunia II berkecamuk, Amerika Serikat baru terlibat secara aktif dalam peperangan pada akhir 1941. Itu pun terjadi setelah bala tentara Jepang menghancurkan Pearl Harbour.
Sebelum peristiwa itu, Amerika Serikat membiarkan bangsa-bangsa di Eropa berjuang sendiri menghadapi gerakan pasukan Jerman. Kalau pun memberikan bantuan, berupa pengiriman atau pun penjualan berbagai keperluan militer. Amerika Serikat saat itu merasa tidak ada kepentingan untuk terlibat langsung di dalamnya.
Lain cerita, saat Irak menginvasi Kuwait pada tahun 1991. Tanpa ba bi bu, Amerika Serikat mengerahkan puluhan ribu dan alat perangnya ke wilayah itu. Selain itu, Amerika Serikat berhasil menggalang puluan negara untuk sama-sama menghukum Irak dan Saddam Hussein.
Lalu apa beda perlakuak Amerika Serikat di kedua peristiwa itu. Jawabannya adalah kepentingan dan nilai tambah yang akan didapatkan. Terbukti pasca Perang Dunia II Amerika Serikat tampil menjadi penguasa dunia, berdampingan dengan Uni Sovyet. Sedangkan di Timur Tengah, paska peperangan Amerika Serikat mampu menguatkan hegemoninya di wilayan itu.
Lalu bagaimana denga Ukraina? Putin sudah berpikir bahwa Amerika Serikat di bawah Biden tidak mungkin akan menghambur-hamburkan dollarnya hanya untuk membiayai sebuah peperangan yang bagi mereka tidak menguntungkan. Langkah yang akan dilakukan oleh Amerika Serikat paling hanya dalam bentuk sangsi ekonomi dan berbagai upaya pengucilan Rusia dari pergaulan dunia. Tak lebih dari itu.
Dan langkah ini tampaknya juga diamini oleh para sekutunya di wilayah Eropa. Terbukti mereka pun hanya mengirimkan berbagai peralatan militer maupu bantuan pangan. Kemudian mereka membiarkan tentara Ukraina berjuang sendirian.
Dalam langkah selanjutnya, peperangan akan diakhiri dengan perundingan. Nah dalam proses ini Putin dengan segala gaya diplomasinya berharap akan dapat berbagai konsesi dari lawan berunding, jika mau menghentikan peperangan. Nah, jika ini yang terjadi maka Putinlah pemenang peperangan tersebut.
Lembah Tidar, 2 April 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI