Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Konflik Rusia-Ukrania, Bisakah Kita Salahkan Gorbachev?

13 Maret 2022   08:49 Diperbarui: 15 Maret 2022   07:43 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mantan pemimpin Uni Soviet, Mikhail Gorbachev. Sumber: AP Photo via Kompas.com

Konflik Rusia -- Ukraina, tidak terasa sudah memasuki minggu ketiga. Terhitung sejak tanggal 24 Februari Putin secara resmi mengumumkan tentang "operasi militer khusus" ke Ukraina. Dan sejak itu ratusan rudal dan artileri Rusia menghujam di sebagian wilayah Ukraina.

Pecahnya perang ini sebenarnya sudah menjadi kekhawatiran berbagai pihak, terutama pihak Barat. Penempatan ribuan pasukan dengan dukungan artileri di perbatasan kedua negara, sudah mencemaskan banyak pihak. 

Janji Rusia untuk tidak melakukan tindakan militer pun, tidak dipercaya oleh pihak Barat. Karena dalam kenyataannya memang Rusia mempunyai "rencana khusus" terhadap Ukraina.

Memang banyak analisis bermunculan berkaitan konflik ini. Salah satunya adalah kekhawatiran Rusia akan kedekatan Zelenskyy dengan pihak Barat. Selain itu ada indikasi kuat bahwa Ukraina pun ingin bergabung dengan NATO. Maka cara inilah yang ditempuh oleh Putin untuk mengingatkan kedua belah pihak, baik Ukraina maupun NATO.

Bagi Rusia sendiri, kedekatan bahkan bergabungnya Ukraina terhadap NATO menjadi ancaman besar. Bagaimanapun juga kedua negara bersinggungan secara langsung. Maka keberadaan NATO yang nota bene musuh besar Rusia berarti satu bentuk ancaman nyata.

Masa Kejayaan Uni Sovyet

Dalam lintas perjalanan sejarah, Rusia yang saat itu masih menjadi bagian Uni Sovyet pernah menikmati masa kejayaan. Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, menempatkan Uni Sovyet sebagai  4 kekuatan besar di Eropa bahkan dunia. Uni Sovyet bersanding dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis mendapat sebutan The Big Four. Mereka adalah pemenang Perang Dunia II, sekaligus mempunyai kewenangan untuk "mengatur" dunia pada saat itu.

Gerakan pembaharuan Michael Gorbachev yang kurang persiapan, justru mendorong kehancuran Uni Sovyet. (sumber gambar: tirto)
Gerakan pembaharuan Michael Gorbachev yang kurang persiapan, justru mendorong kehancuran Uni Sovyet. (sumber gambar: tirto)

Pada perkembangan berikutnya, 4 kekuatan itu mengerucut menjadi 2 kutub. Amerika Serikat bersama Inggris dan Perancis dalam satu blok, di sisi lain Uni Sovyet berdiri sendiri. 

Pemisahan berawal dari pembagian Jerman menjadi 2 wilayah yang bermusuhan, Jerman Barat di bawah kendali Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Sedangkan Jerman Timur dalam kendali Uni Sovyet.

Pemisahan tersebut ternyata tidak hanya berhenti di situ saja. Berawal dari pemisahan Jerman tersebut, kedua blok kemudian saling memperluas pengaruhnya. 

Terciptalah yang namanya polarisasi, di mana dunia terbelah dalam 2 kutub yang bermusuhan. Blok Barat dengan kapitalisme liberalism, sedangkan Blok Timur dengan faham Komunis. Pada tahap selanjutnya peningkatan kekuatan militer pun menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.

Selama periode ini berlangsung 1945 -- 1991, Uni Sovyet "menikmati" posisi yang sangat luar biasa. Keberadaannya di Blok Timur, menjadikan dirinya sebagai penguasa Blok Timur. 

Kekuatan militer yang dikembangkan pada para sekutunya, menjadikan negara-negara Barat berpikir seribu kali untuk melangkah. Sehingga tidak heran Uni Sovyet seakan mempunyai benteng alami wilayahnya dari ancaman negara-negara Barat. Negara-negara sekutu Uni Sovyet yang berada di wilayah Eropa Timur, menempatkan dirinya dalam posisi yang selalu aman.

Dalam skala lebih besar, Uni Sovyet pun memainkan peran penting dalam percaturan politik dunia. Kekuatan Uni Sovyet, seakan menjadi penyeimbang. 

Uni Sovyet dalam setiap momen apa pun akan menjadi pihak yang berseberangan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Keduanya selalu ada di belakang setiap negara yang terlibat konflik di dunia. 

Periode ini dikenal dengan periode Perang Dingin, sebuah permusuhan tingkat tinggi antara keduanya, tapi tidak pernah terwujud dalam konflik saling berhadapan.

Perpecahan Uni Sovyet

Sejarah "kegemilangan" Uni Sovyet mendadak berubah total saat Michaek Gorbachev berkuasa (1990 -- 1991). Sejak merintis karir sebagai Sekjen Partai Komunis Uni Sovyet pada tahun 1985, dia memandang mulai munculnya tanda-tanda keruntuhan Uni Sovyet. Hal ini terutama tampak pada perkembangan perekonomian Uni Sovyet sejak tahun 1980-an.

Pandangan modernnya mendorong untuk segera melakukan beberapa pembenahan. Dan ini tercapai saat dirinya menjabat sebagai presiden Uni Sovyet pada tahun 1990. Ide-ide besar pun diluncurkan yang intinya adalah pembukaan kran demokrasi dan penerapan ekonomi liberal. Dia mempunyai mimpi bahwa Uni Sovyet akan mencapai kejayaan

Dalam proyek pembaharuannya, Gorbachev tanpa malu-malu mengadopsi apa yang berlaku di barat. Padahal selama ini hal-hal tersebut sangat diharamkan oleh pemimpin Uni Sovyet sebelumnya. 

Namun apa lacur, semua tidak berjalan seperti harapan. Persiapan yang belum matang, justru membenamkan Uni Sovyet pada krisi ekonomi yang makin dalam.

Di sisi lain, pelonggaran beberapa aturan yang ada, justru dimanfaatkan oleh sebagian wilayah untuk melepaskan diri dari Uni Sovyet. Perubahan sistim komunisme kea rah demokratis inilah yang jadi biang keladinya. Komunisme yang semula menjadi lem pemersatu Uni Sovyet, kini tidak berfungsi lagi. 

Maka tak heran muncul berbagai ketidakpuasan dari berbagai pihak. Mereka dari kelompok konservatif dengan keras mengecam pembaharuan yang dilakukan Gorbachev. 

Di sisi lain, kelompok moderat dan radikal, menggunakan angin ini untuk lebih bebas dalam bergerak. Walhasil pada tanggal 25 Desember 1991, Uni Sovyet pun dibubarkan.

Hasil dari perpecahan ini, Uni Sovyet saat itu menjadi 15 negara merdeka. Dan yang lebih mengerikan lagi, perpecahan ini kemudian menjadi pemicu lepasnya negara-negara Eropa Timur yang selama ini menjadi negara binaan Moskow. Dimulai dari Jerman Bersatu, negara-negara di kawasan Eropa Timur pun berbondong-bondong melepaskan diri dari ikatan Moskow.

Dampak ini ternyata belum seberapa. Kerugian terbesar Uni Sovyet justru adalah dalam peran mereka dalam percaturan dunia. Jika mereka dahulu mampu menjadi negara penyeimbang Amerika Serikat. 

Negara yang selalu mampu mengerem laju hegemoni Amerika Serikat, sejak saat itu tidak lagi. Langkah bergabungnya beberapa negara sekutunya menjadi anggota NATO, menjadi tamparan yang luar biasa buat mereka, terutama Rusia.

Kemarahan Putin

Berdasarkan uraian di atas, maka langkah Putin menyerang Ukraina, bisa jadi berkaitan dengan sejarah kelam di atas. Putin adalah salah satu tokoh Rusia yang sangat kecewa dengan perpecahan dalam tubuh Uni Sovyet. Bahkan dalam suatu kesempatan, dia mengatakan runtuhnya Uni Sovyet merupakan bencana geo politik terbesar di abad ke-20.

Jelas di sini bahwa Putin tampak ingin kembali menunjukkan "kewibawaan" Rusia kembali. Putin mungkin saja tengah mencoba menyusun kembali puzzle itu, kepingan negara Uni Sovyet yang menjadi berantakan gegara pembaharuan Gorbachev. 

Kedekatan Ukraina dengan NATO, dianggapnya sebagai bentuk penghinaan dan anggapan remeh terhadap wibawa Rusia sebagai pewaris Uni Sovyet.

Tindakan Putin dengan menyerang Ukraina, bisa juga dipakai sebagai alat untuk mengukur nyali negara-negara Barat. Keterlibatan negara-negara Barat secara aktif dalam konflik ini, justru ditunggu oleh Rusia. 

Sebab keterlibatan mereka secara aktif, dapat dipastikan akan memperluas skala peperangan. Masalah menang atau kalah, tampaknya tidak penting bagi Rusia.

Lembah Tidar, 13 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun