Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gaduh, Lagi-Lagi Gaduh

4 Maret 2022   10:18 Diperbarui: 4 Maret 2022   10:29 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara tanggal 1 Maret oleh Presiden Jokowi. (sumber gambar: mediaindonesia.com)

Belum habis ruang public negeri ini dibuat gaduh dengan surat edaran Menteri Agama berkaitan dengan pengaturan penggunaan TOA di masjid, negeri ini sudah dibuat gaduh dengan hal lain. Kali ini justru muncul dari lingkaran istana. Penetapan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 2 tahun 2022, menimbulkan kegaduhan baru.

Kegaduhan itu berpangkal pada tidak terdapatnya nama Soeharto dalam surat keputusan tersebut. Nama-nama yang tercantum dalam keputusan itu hanya Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sri Sultan Hamengku Buwino IX. Padahal sejak masa Orde Baru nama Soeharto identic dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Di antaranya dalam film lama Janur Kuning, yang dituduh sebagai film pengkultusan Soeharto dalam peristiwa itu.

Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 sendiri pada intinya adalah keberhasilan TNI menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam. Berdasarkan berbagai sumber sejarah, tujuan serangan adalah untuk menunjukkan bahwa TNI masih eksis pada saat itu. Sebab dalam Sidang PBB pada saat itu secara gambling Belanda mengatakan bahwa Republik Indonesia dan TNI telah hancur. Dengan adanya gerakan ini, maka dunia dapat menyaksikan bahwa apa yang disampaikan delegasi Belanda dalam Sidang PBB hanyalah omong kosong.

Menanggapai berbagai reaksi masyarakat, Menko Polhukam, Mahfud MD menyatakan bahwa Kepres ini bukan buku sejarah, sehingga tidak menyebutkan banyak nama. Yang muncul hanyalah nama para penggagasnya saja Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Panglima Besar Jendral Soedirman. (kompas.com, 3 Maret 2022)

Pernyataan Mahfud MD ini berbuntut dengan sanggahan dari beberapa pihak. Ada anggapan bahwa pemerintah sengaja menghilangkan nama Soeharto dalam peristiwa besar tersebut. Bahkan Fadli Zon secara lantang mengatakan tidak mungkin jika ide itu muncul dari Presiden Soekarno. Fakta sejarah saat itu, Indonesia masih dalam bentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang dipimpin oleg Mr. Sjafroedin Prawiranegara. Sedangkan posisi Soekarno dan Mohammad Hatta masih dalam tawanan Belanda di Menumbing. (detik.com, 4 Maret 2022)

Lepas dari aksi mau pun reaksi atas penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara ini, peristiwa ini memang hingga saat ini masih menimbulkan perbedaan pendapat berkaitan dengan penggagasnya. Memang pada saat Soeharto berkuasa, semua mengganggukan kepala saat Soeharto mengklaim sebagai penggagas. Berbagai monumen atau pun kegiatan dibuat untuk mengukuhkannya. Termasuk pendirian Monumen Jogja Kembali maupun film Janur Kuning.

Namun setelah lengsernya Soeharto muncul penafsiran baru. Termasuk pengakuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono bahwa dialah pemrakarsa peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 itu. Tafsir lain mengatakan bahwa Soeharto yang saat itu masih berpangkat Letnan Kolonel, dan hanya sebagai Komandan Wilayah Pertahanan (Werkheise) III tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Di atas Soeharto masih ada Kolonel Bambang Soegeng yang menjabat sebagai Komandan Divisi III.

Dengan tanpa mengesampingkan berbagai tafsir tersebut, secara fakta sejarah Soeharto tetap ada dalam peristiwa heroik itu. Posisinya sebagau Komandan Werkheise, bukanlah posisi sembarangan. Paling tidak dia punya kewenangan untuk menggerakkan pasukan. Maka ketika nama Soeharto tidak muncul, menjadi pertanyaan besar. Tuduhan menghilangkan peran Soeharto, atau minimal upaya mengecilkan peran Soeharto patut menjadi kecurigaan berbagai pihak.

Jika memang itu yang terjadi, maka hal ini menjadi preseden buruk bagi penyusunan sejarah di negeri ini. Masih belum hilang dari ingatan kita saat Orde Baru berkuasa, teks sejarah yang muncul adalah versi mereka. Termasuk di antaranya adalah versi tunggal tentang Peristiwa G 30 S/ PKI dan upaya mengecilkan peran Soekarno. Semoga saja keluarnya Keputusan Presiden tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara tidak mengindikasikan hal itu.

Lembah Tidar, 4 Maret 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun