Hari ini hari kelima pertempuran antara pasukan Rusia dengan Ukraina. Pertempuran saat ini masih berpusat di kota Kiev, kota yang mati-matian dipertahankan tentara Ukraina. Sebab Kiev boleh dibilang adalah jantungnya Ukraina.
Dalam berbagai laporan, meski Rusia kemarin sempat memasuki kota ini, namun tentara Ukraina berhasil memukul mundur. Sehingga sampai Senin kemarin, Rusia menempatkan konvoi militer sepanjang 60 kilo meter di utara Kiev, ibu kota Ukraina. Entah scenario apa yang saat ini bermain di benak Putin.
Saat perang mulai pecah pada tanggal 24 Februari 2022, muncul kekhawatiran akan kemungkinan menyebarnya wilayah peperangan. Bahkan ada sebagian kekhawatiran bahwa perang ini akan menjadi Perang Dunia III. Dalam benak mereka terbayang bagaimana tentara Jerman pada tahun 1939 -- 1945 menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Dan imbasnya merembes ke Asia dengan dimotori sekutu Jerman, yaitu Jepang,
Jika mau dicermati, skala perang Rusia -- Ukraina tidak akan sebesar dan serumit itu. Hal ini dapat dilihat dari tuntutan Rusia pada Ukraina dalam perbincangan Putin dengan presiden Perancis Macron. Â Dari pernyataan yang dirilis dari Kremlin, Putin mengatakan bahwa negeri itu harus netral dan tak memihak Barat. (CNBC, 1 Maret 2022).
Nah, sebenarnya itu yang menjadi permasalahan Rusia. Diakui atau tidak, pasca pecahnya Uni Sovyet pada tahun 1991 membawa dampak yang tidak mengenakkan bagi Rusia sebagai bagian terbesar Uni Sovyet.Â
Negara-negara pecahan Uni Sovyet tersebut, berbondong-bondong menjadi anggota NATO yang nota bene musuh bebuyutan Rusia (Uni Sovyet).
Dahulu, saat Uni Sovyet masih Berjaya, terjadi kekuatan seimbang antara kedua belah pihak, NATO dan Pakta Warsawa. Selain itu, Uni Sovyet memiliki perisai keamanan yang luar biasa.Â
Mereka adalah negara-negara di kawasan Eropa Timur yang berada dalam kendali Moskow. Negara-negara inilah yang seaklan berfungsi sebagai parit yang memisahkan Uni Sovyet dengan kekuatan Barat, Jerman Barat, Perancis, Inggris, dan negara-negara Eropa Barat lainnya.
Setelah Uni Sovyet bubar, maka satu persatu perisai itu lepas. Runtuhnya komunisme di Uni Sovyet, membuat mereka lepas dari faham itu. Dan arah perkembangan mereka beralih ke Barat yang lebih menjanjikan secara ekonomi.
Kekhawatiran bahwa negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang tergabung dalam NATO mengerahkan pasukannya, itu hanyalah sebuah kemungkinan kecil.Â
Sebab secara hitungan apa pun tidak ada keuntungan apa pun bagi mereka. Karena bukan tidak mungkin justru akan menimbulkan instabilitas kawasan Eropa, dan ujung-ujungnya menghantam sisi perekonomian yang baru mulai bangkit setelah pandemic.
Demikian pula kekhawatiran Rusia akan memperluas wilayah peperangan, ini pun kecil kemungkinannya. Rusia tidak seperti Uni  Sovyet pada masa jayanya.Â
Di mana mereka mempunyai banyak sekutu yang siap membela apa pun yang dilakukan Uni Sovyet. Tindakan Rusia dengan memperluas konflik, hanya akan membuat Rusia sendiri akan menderita.Â
Penderitaan itu terutama muncul di bidang perekonomian. Seperti diketahui semua pihak, saat ini satu-satunya cara menghentikan Rusia hanya dengan menutup segala kepentingan ekonomi mereka. Dengan demikian Rusia akan mengalami kesulitan ekonomi, dan mereka akan mengendurkan peperangan.
Sikap enggan ini tampak pada beberapa negara Eropa, hanya Inggris saja yang agak keras sikapnya. Negara-negara lain tampak lebih menahan diri. Hal ini jauh berbeda dengan saat Jerman melakukan aksinya dalam Perang Dunia II. Saat itu negara-negara Eropa serempak bangkit mencoba menghadapi tentara Jerman.
Kemungikan ending dari konflik ini hanya berhenti di meja perundingan. Di mana dalam perundingan tersebut, Rusia dapat mengajukan apa yang menjadi tuntutan mereka, terutama berkaitan dengan status Ukraina.
Lembah Tidar, 1 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H