Sebagai seorang guru, saya sering mengelus dada melihat apa yang dilakukan anak-anak di sekolah. Hal ini terjadi saat menyaksikan beberapa orang anak yang canggung melakukan pekerjaan rumah, seperti menyapu, membersihkan kaca, memungut sampah, mengepel lantai, dan lain-lain. Masih untuk jika ada yang mengerjakan, meski agak canggung. Yang lebih parah lagi adalah mereka yang tidak tahu bagaimana harus melakukan pekerjaan itu.
Ketika hal ini saya obrolkan dengan teman guru yang lain, ternyata mereka mengiyakan. Apa yang saya katakana dalam hati, sama dengan mereka. Teman-teman guru yang lain juga tidak habis pikir, hanya untuk pekerjaan yang seremeh itu harus diberi contoh.
Hal kedua membuat saya heran adalah kepedulian mereka akan lingkungan. Saat mereka melihat kelas kotor atau tidak pada tempatnya, tidak ada keinginan untuk membersihkan atau pun membenahinya. Mereka tidak merasa terganggu dengan semua itu. Bahkan yang lebih parah adalah ketika sang guru yang membersihkan atau membenahi, tidak tampak rasa sungkan pada mereka. Mereka tetap santuy saja, seakan tidak ada apa-apa.
Gambaran semacam ini sebenarnya menjadi sebuah bentuk keprihatinan. Kebiasaan anak untuk melakukan pekerjaan rumah dan kepedulian mereka pada lingkungan, kini menjadi barang antik. Karena sangat sulit kita temukan, dan kalaupun ada yang melakukan justru dipandang aneh oleh teman-temannya.
Berkaca dari itu muncul pertanyaan besar, adakah ini bukti dari gagalnya pendidikan di lingkungan keluarga. Keluarga sebagai lingkungan yang pertama dan paling dominan, terbukti tidak mampu mewarnai mereka. Karena diakui atau tidak, seorang anak itu tak ubahnya potret dari keluarga itu sendiri. Penerapan pendidikan dalam keluarga yang benar, akan melahirkan anak dengam budi pekerti tinggi.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab tidak optimalnya pendidikan dalam keluarga, sehingga lahirlah anak-anak model zaman sekarang ini.
Pertama, kesibukan orang tua untuk mencari nafkah. Pengertian mencari nafkah ini bersifat universal. Bagi mereka pada golongan mampu, kesibukan yang mereka lakukan, membuat frekuensi pertemuan dalam keluarga minim. Bolehlah mereka katakana bahwa dalam hubungan keluarga lebih penting kualitas daripada kuantitas. Namun menurut hemat saya, seringnya anak bertemu dengan orang tua tetap lebih utama.
Di sisi lain, kemampuan ekonomi mereka memungkinkan untuk menggaji beberapa asisten rumah tangga. Sehingga semua pekerjaan rumah dilakukan para asisten rumah tangga, sang anak tinggal duduk manis.
Namun bagi keluarga tingkat ekonomi rendah, justru sebaliknya. Perjuangan mereka untuk  membuat dapur mengepul membuat mereka pun tak kenal waktu. Ibarat kepala dibuat kaki, kaki dibuat kepala, hari-hari mereka dipenuhi dengan bekerja. Perhatian terhadap anak pun otomatis tidak mereka pentingkan. Yang penting anak sudah makan, selesai sudah. Keseharian anak-anak di rumah, luput dari perhatian mereka.
Kedua, beban pelajaran sekolah. Tak dapat dimungkiri, saat ini sekolah identic dengan beban belajar yang luar biasa. Tuntutan kurikulum yang demikian tinggi, membuat para guru harus memberikan berbagai tugas pada anak didiknya. Belum lagi ditambah dengan fulldays school yang diterapkan. Otomatis situasi ini membuat anak tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Sebagai ilustrasi, mereka harus meninggalkan rumah setiap jam 6 pagi. selanjutnya mereka baru masuk rumah lagi sekitar pukul setengah lima sore, karena sekolah baru selesai pukul setengah empat. Setelah istirahat sebentar, mereka disibukkan dengan seabreg tugas dari sekolah, atau mungkin juga kegiatan les di luar.
Melihat sempitnya waktu, maka tidak mungkin mereka terlibat dengan segala macam pekerjaan di rumah. Beberapa orang tua yang sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, justru membebaskan anak-anak dari kegiatan membantu orang tua. Yang penting anak mampu mencapai prestasi akademik yang optimal, tanpa harus diganggu pekerjaan lain.
Dari dua factor ini saja, sudah tampak betapa sulitnya menemukan anak dengan kebiasaan melakukan pekerjaan rumah dan mempunyai kepedulian pada lingkungan. Padahal, bagaimanapun juga, kegiatan semacam ini sangat penting. Dengan membiasakan mereka terlibat dalam pekerjaan rumah, secara tidak langsung kita membekali mereka untuk hidup di masyarakat saat mereka dewasa.
Mungkin sudah saatnya kita untuk mengembalikan apa yang pernah kita rasakan saat kecil dahulu. Saat di mana kita dengan gembira terlibat dalam semua pekerjaan rumah. Saatnya untuk melibatkan mereka dalam pekerjaan kita. Kalaupun waktu belajar menyita mereka, mungkin kita jadikan hari Sabtu dan Minggu sebagai family day. Satu momen saat kita melakukan segala pekerjaan rumah bersama anak-anak.
Lembah Tidar, 26 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H