Sudah menjadi rahasia umum, tempe selama ini masuk dalam kategori favorit dalam urusan makanan. Mau diapakan saja, tetap enak. Entah mau digoreng, dibacem, dibuat sambal, atau diapakan saja. Pokoknya tempe is the best. Kehadirannya mampu mengisi semua lini kehidupan kita.
Nah sekarang bayangin saja! Saat sore-sore hujan gerimis, kita duduk di teras rumah. Entah sendirian, syukur-syukur berduaan dengan sang idaman hati. Di meja depan tersaji tah hangat dan gorengan tempe. Rasanya pasti gimana gitu. Hidangan murah meriah ini dapat menjadi teman obrolan di sore bergerimis itu.
Demikian pula saat sayur di mangkok butuh teman. Tempe pun siap untuk menemani. Mereka siap untuk tampil sebagai apa pun, mau digoreng, dibacem atau di apa pun. Dan hebatnya, kita pun menjadi penikmat yang baik paduan sempurna itu. Dari semua itu, satu kata kunci tentang kehadiran sang tempe adalah murah meriah.
Tapi beberapa hari belakangan ini, semua berubah begitu drastis. Belum habis gelombang kelangkaan minyak goreng, kini badai naiknya harga kedelai menjadi biang kerok semuanya. Tempe yang semula murah meriah, pilihan terbaik saat kantong mongering, kini tidak lagi. Sebab, hanya untuk menikmati sepotong tempe goreng, kini tangan ini harus merogoh lebih dalam ke dalam kantong. Jika selama ini uang pengganti sepotong tempe ada di permukaan kantong, kini tidak lagi.
Situasi semacam ini seolah-olah mengejek kita. Terutama orang-orang yang selama ini menyepelekan sang tempe. Anggapan sepotong tempe menjadi makanan dengan kasta terendah dalam urusan rupiah, sementara ini tidak lagi. Hantaman harga kedelai dan kelangkaan minyak goreng menjadi penyebabnya.
Hehe... orang Jawa mengatakan angel... angel...., yang artinya sulit-sulit. Bagaimana tidak, ternyata makanan yang semula dipandang sebelah mata ini dapat juga terombang-ambingkan oleh kondisi internasional. Kondisi apalagi kalau bukan naiknya harga kedelai impor. Nah nyambung kan? Tempe yang semula duduk manis di setiap pojokan rumah dengan bersahaja, mendadak berubah menjadi barang mewah dan langka.
Memang sebuah ironi yang sempurna. Negeri yang begitu kaya dan bersahaja, harus terombang-ambing gegara dua hal ini. Negeri yang bersahaja karena mau mengkonsumsi sepotong tempe yang identic dengan kesederhaann, kini tidak bisa lagi.
Negeri  yang harusnya kaya dengan sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan kedelai yang hanya produk lading, kini harus menjerit. Para pengusahan temped an para pedagang gorengan, harus menjerit setinggi langit untuk mengadukan nasibnya. Ah, sebuah ironi yang betul-betul sempurna.
Lembah Tidar, 23 Februari 2022 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H