Beberapa hari belakangan ini, media tanah air dipenuhi dengan berbagai tulisan tentang peristiwa di desa Wadas, Kabupaten Purworejo. Peristiwa berupa tindakan represif aparat kepolisian terhadap aksi sebagian warga Wadas yang menolak pengukuran tanah peruntukan tambang batu andesit di wilayah tersebut.
Kejadian yang diakhiri dengan penangkapan puluhan warga ditambah dengan perlakuan repesif aparat kepolisian, dengan menyebar ke penjuru tanah air, bahkan ke seluruh dunia. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi serta mudahnya setiap orang merekam dan menyebarkan sebuah peristiwa, menjadi ramuan hebat untuk memviralkan peristiwa tersebut.
Dan hasilnya dapat dilihat dengan munculnya berbagai reaksi dari berbagai kalangan. Sebagian besar memojokan perlakukan represif aparat kepolisian terhadap warga. Tindakan persuasif yang seharusnya diajukan justru diganti dengan langkah represif. Akhirnya dapat dilihat, bentrokan pun tak dapat dihindarkan. Dan puluhan warga pun harus diangkut ke Polres Purworejo.
Situasi semacam ini tentu saja sangat memprihatinkan. Bagaimanapun juga, aparat kepolisian sudah seharusnya memberikan perlindungan pada masyarakat. Bukan malahan sebaliknya, menjadi momok bagi masyarakat. Sehingga hubungan antara keduanya adalah hubungan yang harmonis dan saling membutuhkan.
Namun di sisi lain, keberadaan aparat kepolisian di desa Wadas saat itu pun perlu juga kita cermati secara baik. Sebagai aparat keamanan terutama dalam bidang kamtibmas, pengamanan terhadap suatu daerah ataupun satu kegiatan, sudah menjadi tugass utamanya. Apalagi jika dalam kegiatan tersebut tercium adanya potensi kericuhan.
Posisi semacam inilah yang terkadang membuat dilema tersendiri bagi aparat kepolisian. Sebab saat terjadi sebuah kericuhan dalam sebuah kegiatan tanpa keberadaan aparat kepolisian di sana, dapat dipastikan mereka akan kena tunjuk hidung. Langkah antisipasi pasti perlu dilakukan dengan cara penempatan personil di sana.
Demikan juga saat aparat kepolisian bertindak terhadap sebuah peristiwa yang berujung dengan terluka atau ditangkapnya sebagian warga, mereka pun kena tunjuk hidung. Tuduhan bahwa mereka tidak professional, represif, tidak humanis, pasti mengemuka. Padahal mungkin saja aksi tersebut merupakan reaksi dari sebuah kondisi.
Berkaca dari peristiwa Wadas, ataupun di wilayah-wilayah lain, rasanya perlu pembelajaran bagi semua pihak. Jalan dialog dengan menggunakan kepala dingin, tetap harus dilakukan. Termasuk pula dalam pengerahan pasukan dan penerapan langkah sesuai SOP dari aparat kepolisian, menjadi pertimbangan mendalam. Dalam artian, reaksi yang muncul selayaknya sesuai dengan aksi yang muncul.
Kesadaran dari kedua belah pihak inilah yang akan menjadi jalan tengah bagi setiap kejadian di negeri ini. Karena bagaimanapun juga, aparat kepolisian pun juga bagian dari penghuni negeri tercinta ini.
Lembah Tidar, 11 Februari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H