Seharusnya ada 2 pesta besar di kota Manchester pada minggu ini. Â Pesta pertaman digelar oleh Manchester United dengan tropi Liga Eropa.Â
Sedangkan pesta kedua giliran Manchester City memprolamirkan sebagai kampiun sepak bola Eropa. Penyandingan 2 gelar ini tentu saja akan menjadi sejarah tersendiri bagi kota Manchester.
Namun kenyataan berkata lain. Keduanya harus bangun dari mimpi tersebut. Membuka mata lagi lebih lebar bahwa sepak bola bukan matematika. Semudah orang menghitung 1 + 1 = 2. Sepak bola tetap sebuah misteri yang luar biasa.
Siapa sangka jika Manchester United yang mengurung sepanjang laga, harus murung di ujung laga. Siapa sangka pula selisih satu tendangan penalty menjadi penentu 120 menit pertarungan hidup mati.
Tak jauh beda dengan riwayat perjalanan sang tetangga yang berisik, Manchester City. Kurang apa pada diri mereka sebagai sebuah klub. Reputasi Pep sudah tidak diragukan lagi.Â
Kemampuan mereka menghancurkan PSG seakan menjadi jaminan aksi mereka di laga final. Ditambah obsesi menggunung dari klub maupun sang manajer. Semua menjadi modal yang berharga.
Namun apa lacur di lapangan segalanya berbeda. Siapa sangka Tuchel justru mampu meraih si Kuping Besar dengan klub yang nota bene berada satu level di bawah PSG.Â
Siapa sangka pula gol semata wayang justru muncul dari kaki Kai Havertz yang baru membuat 1 gol dari 12 penampilan di Liga Champion. Semua serba luar biasa.
Di atas semua itu, ternyata ada satu kemiripan nasib duo Manchester ini. Keduanya tersandung dari tropi gegara sang kiper. Tentu saja bukan berarti semua kesalahan sang kiper semata. Sebab sepak bola adalah sebuah permainan tim.