"Kemanusiaan. Kemanusiaan apa. Mata bisa Pak melihat, tapi hati ini tidak bisa Pak." Rika mulai menangis.
Dalam suratnya kemarin, Adit menyampaikan keinginannya untuk menikah lagi. Perempuan yang dipilih Adit adalah Asti, perempuan yang pernah menjadi masa lalu Adit. Dan secara kebetulan mereka tinggal dalam satu kota. Semua terjadi tanpa disengaja. Penempatan tugas Adit di Semarang ternyata justru membawanya pada perempuan masa lalu itu. Pada awalnya, Rika sempat keberatan. Tapi setelah Adit mampu meyakinkan Rika, keberatan itu pun lenyap. Rika yakin karena dia telah melihat sikap perilaku selama menikah tidak pernah menunjukkan gejalan-gejala yang aneh.
"Rik, ijinkan aku menikahi Asti. Hal ini kulakukan, bukan karena aku mengkhianatimu. Tapi semua karena kemanusiaan. Saat ini Asti terbaring di rumah sakit, dengan harapan hidup yang sangat kecil. Meskioun dia masih sadar, tapi dokter telah memvonisnya tidak lama lagi umurnya. Satu hal yang menjadi keinginan terakhirnya adalah menikah denganku. Hanya itu." Kalimat itu adalah sepenggal kalimat yang membuat Rika sulit bersikap. Mengijinkan, berarti harus siap berbagi. Melarang, berarti dia orang tidak berperikemanusiaan.
Kringg! Telepon yang ada di meja kecil ruang tamu berbunyi. Dengan setengah malas Rika beranjak. Diraihnya gagang telepon lalu diletakkan di telinganya.
"Hallo, assalamu 'alaikum." Terdengar suara Adit dari seberang.
"Wa 'alaikumussalam," jawab Rika tidak bersemangat.
"Rika, ini?" Adit menyakinkan.
"Iya, Mas."
"Rik, mas hanya mau menyampaikan sesuatu," kata Adit.
"Ya," jawab Rika pendek.
"Tadi pagi Asti meninggal dunia. Penyakit kanker yang diderita selama ini merenggut nyawanya."