Surat itu masih tergeletak di atas meja. Rika sudah beberapa kali membacanya. Namun entah mengapa dia selalu membuka lagi untuk mencermati larik demi larik kalimat di surat itu. Rasanya ada yang janggal dengan kalimat dalam surat itu.
"Rik, sudah kamu ambil sikap dengan surat itu?" tanya Pak Warsa yang sedang duduk di sudut ruang tamu.
"Belum, Pak."
"La, kenapa? Kurang jelas pesan yang disampaikan?" tanya Pak Warsa lagi.
"Tidak, Pak," jawab Rika pendek. "Saya tak habis pikir, mengapa Mas Adit harus membuat surat ini."
"Mungkin dia punya pertimbangan lain."
"Iya juga Pak. Tapi mungkin akan lebih baik jika mas Adit telpon langsung ke Rika. Jadi semua bisa dibicarakan baik-baik," jawab Rika nampak tidak semangat. Pikiran Rika kembali melayang ke isi surat itu. Permintaan Adit sangat  sederhana. Dia minta ijin untuk poligami. Permintaan yang benar-benar di luar logika. Selama ini rumah tangga mereka baik-baik saja. Dengan dikaruniai seorang anak, ditambah istri yang penuh pengertian, bukanlah sebuah alasan yang dapat diterima untuk tindakan ini. Apalagi hubungan Adit dengan Rika maupun anaknya tidak ada masalah sama sekali.
"Kalau Bapak setuju enggak dengan rencana mas Andi?" Rika balik bertanya.
"Kalau melihat alasan yang Adit sampaikan, Bapak menyetujuinya," jawab Pak Warsa tanpa beban.
"Jadi Bapak senang melihat Mas Adit menduakan Rika?" serang Rika.
"Bukan Rik. Tapi ini semua atas nama kemanusiaan."