Mohon tunggu...
agus siswanto
agus siswanto Mohon Tunggu... Guru - tak mungkin berlabuh jika dayung tak terkayuh.

Guru Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Firasat

7 April 2021   11:13 Diperbarui: 7 April 2021   11:19 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Enggak tahu kenapa, tiba-tiba perasaan Tuti menjadi tidak enak. Peristiwa di dapur tadi membuat pikirannya melayang ke desa. Dia teringat simbok yang tinggal sendirian.

"Sudah, enggak usah terlalu dipikirkan," hibur Harto yang duduk di depannya.

"Tidak Mas. Aku yakin, pasti ada yang terjadi dengan Ibu di desa."

"Lha, kamu terlalu percaya dengan hal-hal yang gak logis. Padahal kamu sendiri sarjana."

"Bukan masalah sarjananya Mas. Tapi ini firasat. Kita kan orang Jawa. Masak Mas enggak ngerti," Dengan sengit Tuti balik menyerang suaminya. Tatapan matanya Nampak kalau dia tidak senang dengan ucapan Harto.

"Lalu apa hubungannya hayo, antara gelas yang tiba-tiba pecah dengan keluarga yang sakit?" Harto tak mau kalah.

"E, ngeyel. Mas ingat enggak ini ilmu titen. Ilmu kejawen tentang firasat. Bahwa apa yang terjadi secara aneh, atau tidak semestinya pasti berkaitan dengan sesuatu yang tidak wajar juga,":sahut Tuti Panjang lebar.

"Sekarang begini Dik. Tadi waktu kamu tuangkan air panas ke dalam gelas, ada enggak sendok di dalamnya?"

"Enggak ada."

"Nah itu jawabannya. Dalam pelajaran IPA anak SD saja sudah diajarkan. Sendok berfungsi untuk meredam panas yang ada."

"Ah, embuh. Mas percaya monggo, enggakpun terserah. Pokoknya aku yakin Simbok pasti ada apa-apa di desa sana."

"Dasar ngeyel!" Harto menutup pembicaraan

"Mas itu yang ngeyel. Yang Namanya firasat itu, enggak bisa dikaitkan dengan logika. Titik."

Keesokan harinya, Harto dikejutkan dengan apa yang dilakukan Tuti. Sepagi itu dia sudah berdandan, siap untuk pergi. Tas pakaian ukuran sedang Nampak di samping pintu.

"Lho, Dik mau kemana?"

"Mau nengok Simbok."

"Lha mbok ditelepon dulu Simbok di desa."

"Alah, ngenyek. Udah tahu desaku enggak ada sinyal, menyuruh telepon lagi," suara Tuti meninggi. "Pokoknya aku mau nengok Simbok. Mas enggak ngantar gak apa-apa. Aku berani sendiri." Tuti pun beranjak dan menenteng tas pakaiannya. Dia bersiap menuju jalan besar mencari angkot.

"Tut!" panggil Harto.

Tuti terus melangkah. Tekadnya sudah bulat untuk menengok ibunya.

"Tut!" Kali ini terdengar suara panggilan lagi. Namun suara itu muncul dari seorang perempuan.

Sontak Tuti menengok ke belakang. "Lho, Simbok. Kapan datang?" Tuti benar-benar terkejut. Simbok yang dikhawatirkannya berdiri di depan tanpa kurang satu apapun. Senyumnya merekah di bibirnya. "Simbok sehat?"

"Seperti yang kaulihat," jawab Simbok masih dengan senyumannya.

Sementara di belakang Simbok, tampak Harto yang berdiri tertegun. Dia sendiri kaget dengan kedatangan ibu mertuanya.

Magelang, 7 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun