"Dasar ngeyel!" Harto menutup pembicaraan
"Mas itu yang ngeyel. Yang Namanya firasat itu, enggak bisa dikaitkan dengan logika. Titik."
Keesokan harinya, Harto dikejutkan dengan apa yang dilakukan Tuti. Sepagi itu dia sudah berdandan, siap untuk pergi. Tas pakaian ukuran sedang Nampak di samping pintu.
"Lho, Dik mau kemana?"
"Mau nengok Simbok."
"Lha mbok ditelepon dulu Simbok di desa."
"Alah, ngenyek. Udah tahu desaku enggak ada sinyal, menyuruh telepon lagi," suara Tuti meninggi. "Pokoknya aku mau nengok Simbok. Mas enggak ngantar gak apa-apa. Aku berani sendiri." Tuti pun beranjak dan menenteng tas pakaiannya. Dia bersiap menuju jalan besar mencari angkot.
"Tut!" panggil Harto.
Tuti terus melangkah. Tekadnya sudah bulat untuk menengok ibunya.
"Tut!" Kali ini terdengar suara panggilan lagi. Namun suara itu muncul dari seorang perempuan.
Sontak Tuti menengok ke belakang. "Lho, Simbok. Kapan datang?" Tuti benar-benar terkejut. Simbok yang dikhawatirkannya berdiri di depan tanpa kurang satu apapun. Senyumnya merekah di bibirnya. "Simbok sehat?"