Mohon tunggu...
Agus Saeful Anwar
Agus Saeful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Muhammadiyah Kuningan

Penikmat literasi, bukan penyuka kopi, suka olahraga tenis meja.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Digital Antara Kemudahan Teknologi dan Tantangan Karakter

9 Desember 2024   07:15 Diperbarui: 10 Desember 2024   06:30 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumentasi pribadi saat observasi di SDN 2 Kuningan, kepada siswa kelas 6, tanggal 3 September 2024.

Pernahkah Anda mengenang masa-masa sekolah dulu? Kala guru berdiri gagah di depan kelas dengan papan tulis kapur, menorehkan huruf demi huruf yang kadang sulit terbaca karena debu kapur beterbangan? Atau ketika tugas dikumpulkan dalam bentuk tulisan tangan, rapi di atas kertas bergaris? Saat itu, belajar terasa begitu fisik, begitu nyata. Kini, kita melangkah ke era yang serba digital, di mana pendidikan tak lagi bergantung pada kapur, melainkan pada sinyal internet.

Pendidikan digital adalah istilah keren yang sering kita dengar belakangan ini. Dalam teori, semuanya terdengar menakjubkan: akses belajar tak terbatas, materi bisa diunduh kapan saja, guru-guru dari seluruh dunia ada di genggaman melalui video online. Namun, di balik kecanggihan ini, ada pergeseran besar yang harus kita renungkan bersama.

Pendidikan di masa lalu berjalan dalam keterbatasan, tetapi justru itulah yang melatih ketekunan. Jika siswa tidak memahami pelajaran, mereka akan bertanya langsung kepada guru, bahkan rela lembur di perpustakaan demi menemukan jawaban. Buku menjadi harta karun pengetahuan, dan belajar berarti berjuang melawan rasa kantuk demi memahami isi buku pelajaran.

Sekarang? Dunia pendidikan sudah berada di ujung jari. Anak-anak mencari jawaban melalui mesin pencari, materi belajar hadir dalam bentuk video animasi yang menarik, dan tugas sekolah bisa dikumpulkan lewat email atau aplikasi pembelajaran. Semuanya cepat, praktis, dan instan. Namun, apakah semuanya menjadi lebih baik?

Kemudahan teknologi juga membawa tantangan baru. Anak-anak cenderung tergoda oleh notifikasi media sosial ketimbang fokus belajar. Proses memahami ilmu sering digantikan dengan aktivitas menyalin jawaban dari internet. Mereka pintar mencari informasi, tetapi belum tentu terlatih memilah mana yang benar atau salah.

Jika siswa menghadapi godaan teknologi, para guru menghadapi tantangan yang lebih besar. Dulu, menjadi guru berarti berdiri di depan kelas, menyalurkan pengetahuan kepada siswa. Kini, guru dituntut menjadi fasilitator, pemandu di tengah derasnya arus informasi digital.

Kurikulum digital yang diterapkan melalui Kurikulum Merdeka memang menawarkan kebebasan belajar, tetapi tanpa kemampuan literasi digital yang kuat, guru dan siswa bisa tersesat. Guru harus belajar teknologi baru, mulai dari aplikasi pembelajaran hingga metode mengajar berbasis daring. Tidak jarang, ini menjadi beban tambahan yang cukup berat, terutama bagi guru yang lahir di generasi sebelum teknologi berkembang pesat.

Sementara itu, Kurikulum Merdeka menginginkan siswa menjadi lebih kreatif, inovatif, dan mandiri. Namun, bagaimana siswa bisa kreatif jika terlalu bergantung pada teknologi? Bagaimana membentuk karakter anak bangsa yang kritis jika mereka lebih sering menonton video hiburan ketimbang membaca artikel berkualitas?

Pendidikan digital adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membuka pintu ke dunia pengetahuan tanpa batas. Di sisi lain, ia bisa menjadi candu yang membuat siswa malas berpikir dan guru kehilangan kendali atas pembelajaran.

Kunci dari semua ini adalah keseimbangan. Teknologi harus menjadi alat bantu, bukan pengganti. Guru tetap memegang peran sentral dalam membimbing siswa. Penggunaan teknologi harus disertai dengan pendidikan karakter dan literasi digital yang kuat.

Maka, para guru dan orang tua, jangan takut dengan era digital. Jadikan teknologi sebagai mitra dalam mendidik anak-anak kita. Dan kepada para siswa, belajarlah tidak hanya dari layar, tetapi juga dari dunia nyata. Jangan pernah lupa bahwa pendidikan sejati adalah perjalanan untuk menemukan jati diri, bukan sekadar mendapatkan jawaban cepat.

Mari kita ajak teknologi berdansa dalam harmoni, bukan membiarkannya memimpin langkah tanpa arah. Sebab, sejatinya, pendidikan bukan soal alat apa yang digunakan, tetapi bagaimana manusia menggunakannya untuk kebaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun