Untuk beberapa lama saya hanya bisa terdiam mendengarkan kata-kata seseorang tentang politik. Sebagai seorang perempuan, dan seorang ibu, saya merasa sangat jauh dari dunia yang disebut politik itu. Meski orang-orang di sekitar saya, termasuk suami, sangat senang untuk membicarakan semua hal berbau politik, tapi saya selalu menghindari hal itu.
Pertama, mungkin karena trauma. Semua wanita yang saya kenal dekat yang memilih berkecimpung di dunia politik selalu mengalami kegagalan dalam keluarga. Entah perceraian dengan suami, entah itu hubungan yang jauh dengan putra-putri mereka, entah itu akhirnya berakhir dengan fitnah yang hampir sepanjang sisa hidup mereka terus menerus mendera. Tak usah jauh-jauh, lihat saja di televisi, berapa banyak perceraian perempuan yang terjun di dunia politik? Kedua, saya tak suka bicara tentang politik seakan-akan kitalah yang paling benar.
Tak ada hal yang benar selain Allah SWT. Seharusnya kita bicara tentang bagaimana memperbaiki, bukan bagaimana menghakimi. Ketiga, alasan ini biarlah jadi rahasia saya sendiri. Sampai saya bertukar pikiran langsung dengan seseorang yang sepanjang hidupnya berkecimpung di dunia politik. Berbicara dengan orang ini, membuka mata saya lebar-lebar tentang dunia politik. Pelan-pelan pula ia membuat saya memahami sisi lain dari dunia yang selama ini selalu saya jauhi.
Untuk para kaum muda, seringkali kata ‘politik’ menjadi menakutkan apalagi melihat banyaknya masalah hukum, korupsi yang menjamur, fitnah-fitnah, bahkan kebohongan publik. Belum apa-apa, begitu mendengar kata politik, banyak anak-anak muda langsung berpaling dan tak mau tahu. Idealisme kebenaran dipelajari di sekolah dan kemudian dalam pergaulan apalagi saat berkecimpung dalam sebuah organisasi. Sayangnya idealisme itu kelak akan tergerus oleh kebutuhan dan keserakahan. Hal-hal lain pun dilupakan termasuk janji saat hati berucap bagaimana kalau nanti kelak akan berpolitik. Banyak pula yang mengaku politisi tapi sama sekali tak tahu berpolitik dan malah dipolitisasi. Bukan sekali dua kali, saya melihat sendiri bagaimana proses perubahan seorang idealis.
Miris kalau mengingat itu, karena itulah dimulai antipati saya terhadap politik. Atau ketika seorang yang akhirnya menjadi kambing hitam politik. Ia, dengan tersenyum menceritakan bagaimana politik itu bisa sangat berguna untuk mendamaikan perseteruan, atau bahkan menyelamatkan hajat hidup orang banyak dengan banyak sekali contoh baik di politik luar negeri maupun dalam negeri. Bahwa politik itu dijalankan tidak hanya pada orang-orang yang mengaku politisi di dunia politik, tapi juga ibu rumah tangga seperti saya atau bahkan setiap orang. Tentu mendengar itu membuat kening saya berkerut. Kok bisa? Ya tentu saja. Contohnya ketika seorang ibu mencoba membujuk anak-anaknya belajar atau membantunya, atau ketika suami mencoba memberitahu apa yang ia sukai atau tidak pada istri, seorang guru yang mencoba menularkan pemikirannya dsbnya.
Itu semua bagian dari cara manusia berpolitik. Politik, mengajak seseorang untuk melakukan, memikirkan atau menggunakan sesuatu. Hasilnya bukan terletak di awal, tapi terletak di akhir. Seorang politisi sejati akan memperhitungkan langkahnya hingga ke kotak terakhir dan tertawa paling terakhir. Terlepas dari kamus yang ada, saya lebih suka mengambil kesimpulan sesuai dengan kata-kata orang yang memang terjun di dalamnya. Dan itu yang saya lihat sendiri bagaimana ia melakukannya.
Dengan cara yang halus, ia mengajak saya berpikir lebih dalam dan makin dalam untuk menjelajahi kemauan orang lain. Ketika saya makin tidak mengerti, ia memilih diam sejenak dan meminta saya berhenti untuk melihat hasilnya dulu. Setelah beberapa waktu dan saya merasakan apa yang ia sebut ’setengah hasil’ barulah ia menuntun saya untuk kembali berpikir. Lama-lama ketika hasilnya benar-benar terlihat, barulah saya mengakui. Oooh, ternyata beginilah cara seseorang berpolitik secara murni. Dengan caranya, masalah itu terselesaikan dengan sendirinya.
Bukan saya atau dia yang menyelesaikan, tapi justru oleh objek yang kami perhatikan bersama. Tak ada keributan dan tak ada gembar-gembor yang harus ditakuti. Dengan kesimpulan itulah saya menyadari mengapa orang yang saya ajak bicara ini bisa memiliki kekuatan politik yang cukup stabil dan berpengaruh. Saya belajar dari beliau, bagaimana membuat orang-orang yang membencimu untuk menjadi pengawas yang baik dan bagaimana membuat para pendukungmu menjadi orang-orang yang benar-benar setia. Menurutnya, cara terbaik adalah menjadi jenderal untuk lawan,dan sahabat untuk kawan. Terus terang saya tak memahami semua kata-katanya, tapi mungkin itulah caranya untuk membuat saya mengingatnya untuk nanti. Melalui orang ini pula, saya menyadari sesuatu. Saya pun memiliki kekuatan politik. Kekuatan politik yang saya miliki adalah ketika saya menulis. Katanya pesan-pesan melalui tulisan saya itulah politik. Politik untuk membuat pribadi yang lebih baik.
Lihat bagaimana indahnya politik itu kalau seandainya semua orang berpikir dan berniat baik, bukan? Jangan pernah menyalahi politik. Ia tak salah karena politik hanyalah jalan. Tapi bagaimana jalan itu dibentuk itu tergantung pribadi yang berjalan di atasnya. Apa yang didapat di ujung perjalanan itupun tergantung apa yang mereka niatkan sebelumnya. Kalau itu untuk kebaikan, insya Allah maka kebaikankanlah yang didapat.
Jangan takut pada dunia politik. Ia menjadi gelap karena kehadiran orang-orang berhati gelap, dan kalau para penerang berlarian menghindar, siapa lagi yang akan menerangi dunia itu? Karena itu, jangan takut untuk terjun ke dunia ini. Ayo para politisi! Kembalilah! Kami perlu banyak sekali politisi jujur yang tahu benar arti berpolitik, berniat baik dan mampu bertahan. Kalau semua menghindar, akan jadi apa negeri ini…
Masyarakat Indonesia seperti saya, pada umumnya mungkin baru belajar membuka mata untuk memahami politik. Tapi yang jelas kitalah yang merasakan secara langsung akibat baik atau buruknya sebuah politik, entah paham arti politik atau tidak. Sekarang kita hanya punya kesempatan memilih tapi tak punya kesempatan untuk bicara setelah itu. Kalau untuk memilih saja kita tak punya pilihan lain, itu sama saja memasukkan kita dalam lubang ‘perbudakan’ politik yang baru. Ibaratnya, politik yang ada sekarang adalah seperti seseorang yang menjanjikanmu untuk memberimu uang dan rumah, tapi merampas kemerdekaanmu untuk berbicara dan berpendapat termasuk ketika suatu saat dengan cara-cara kotor akhirnya uang dan rumah itu harus dikembalikan. Entah sadar atau tidak, itulah yang saya rasakan. Kedepan, kita akan menghadapi pesta politik menuju pemilihan umum.