Mohon tunggu...
Agus Rachmanto
Agus Rachmanto Mohon Tunggu... lainnya -

Pengajar Muda, Gerakan Indonesia Mengajar/UGM/cinta tanah air

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Perjalanan ke Lahewa

20 Agustus 2010   23:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:50 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini titik paling barat dari bumi pertiwi yang pernah saya kunjungi. Lahewa adalah sebuah kecamatan di Pulau Nias. Untuk mencapai daerah ini, saya memrlukan sekitar empat jam perjalanan darat dari Gunung Sitoli, kota paling ramai di pulau ini dimana juga terdapat bandar udara. Saya memang menggunakan pesawat terbang dari Medan ke Pulau Nias. Tentu saja pesawat perintis dengan baling-baling di kedua sayapnya. Itu pengalaman pertama saya naik pesawat perintis. Kalau pada pesawat komersil biasa penuh dengan pramugari yang cantik, maka pada pesawat perintis penuh dengan doa. Goncangan sangat terasa apabila sedikit saja pesawat berbenturan dengan awan. Pesawat juga selayaknya layang-layang yang tertiup angin. Kalau pada pesawat terbang komersil besar kita hanya disuguhi pemandangan berupa awan, pada penerbangan pesawat komersil kecil seperti yang saya tumpangi, kita disuguhi dengan pemandangan berupa gunung-gunung yang seolah-olah bisa kita sentuh, terasa sangat dekat dengan pesawat kita.

Bandar udara di Nias, Binaka, juga tidak lebih besar dari terminal giwangan di Yogyakarta. Begitu pesawat mendarat, kita hanya membutuhkan beberapa langkah untuk sampaike gedung perkantoran dimana pintu kedatangan dan keberangkatan jadi satu. Sewaktu pulang, saya baru tahu kalau kalau airport tax hanya lima ribu rupiah (mengalahkan rekor sebelumnya di Gorontalo, tujuh ribu rupiah. Tentang Gorontalo saya ceritakan pada episode selanjutnya).

Dari Gunung Sitoli menuju Lahewa saya hanya ditemani oleh seorang sopir yang asli Nias namun lama merantau di Medan (sial, saya lupa namanya). Perjalanan terasa asik dan tanpa hambatan pada satu jam pertama. Jalanan di sekitar Gunung Sitoli sangat bagus. Selain jalanan yang sangat bagus, kendaraan yang lalu lalang juga jarang sehingga kami dengan mudah meluncur ke ujung utara Pulau Nias. Jalanan yang beraspal bagus itu adalah berkah adanya gempa bumi yang mengguncang Nias pada 2005 (saya ke Nias pada September 2007, bertepatan dengan Ramadhan). Pembangunan jalan tersebut dibiayai oleh lembaga-lembaga donor asing (dan untuk keperluan mereka juga mengapa jalanan di Nias dibuat bagus semacam itu).

perjalanan menjadi menarik ketika kami memasuki daerah-daerah pedesaan di Nias. Jalan setapak hanya muat satu kendaraan lengkap dengan bebatuan menyambut kami. Tentu saja, untuk ke Lahewa kita tidak bisa dengan Swift apalagi Baleno ceper. Kami saat itu menggunakan Land Rover 4-WD (saat pulang saya dijemput dengan Daihatsu Strada, tentu saja juga 4-WD). Kami juga disambut dengan beberapa jembatan yang miring akibat gempa. Sialnya itulah satu-satunya jalan yang harus kami lalui. Jadilah Pak Sopir harus turun terlebih dahulu untuk mengukur bagaimana kita harus melalui jembatan itu. Saya, dengan wajah tanpa dosa, hanya duduk di kabin. Satu menit. Dua menit. Ah, ternyata jembatan itu memang miring. Bagaimana ini? Dan saya pun turun untuk bertanya pada bapak sopir.

“bagaimana pak? Bisa kita lewat?” tanya saya.

“bisa, pak. Mari” jawabnya dengan penuh keyakinan.

Saya tidak punya pilihan lain. Jangankan memberikan disenting opinion, lha wong nyetir saja saya tidak bisa. Satu-satunya pilihan saya adalah berdoa semoga jembatan itu tidak melempar kami ke sungai. Saya ingin berdoa yang banyak, tapi saya tidak punya banyak perbendaharaan doa. Doa yang paling saya hafal hanya doa sebelum makan. Apa relevan dengan kondisi semacam ini? Ah, sudahlah. Setidaknya kalau hidupku harus sampai hanya di sini, minimal aku yakin akan ada yang menangisiku. Eratkan sabuk pengaman. Ah, berhasil! Saya ingin berterika kayak Dora: berhasi, hore, hore! Niat itu saya urungkan karena pak sopir tahunya saya adalah peneliti dari sebuah kampus yang keren di Jogja. (tengkyu bapak, serius saya masih ingat wajahmu walaupun lupa namamu).

Perjalanan selanjutnya relatif aman walaupun tidak tenteram. Kanan kiri banyak pepohonan dan menjelang berbuka puasa. Saya disambut staf lokal yang langsung mengajak saya ke warung (tebak, warung apa yang ada di ujung utara Nias? Ya! Warung masakan Padang!) ah, jauh-jauh saya ke pelosok negeri, ketemunya Coca-cola kalengan! Sial!

Saya menghabiskan beberapa hari di Lahewa untuk bertemu dengan ibu-ibu, anak-anak sekolah, nongkrong di warung kopi sampai dini hari. Mengunjungi sekolah yang masih ambruk (dua tahun pasca gempa, lho....), gereja serta masjid. Ternyata ada kehidupan Muhammadiyah dan NU di ujung utara Nias. Luar biasa.

Sebelum pulang ke Gunung Sitoli, saya ke pasar Lahewa untuk membeli sesuatu yang khas. Saya cari kopi, ketemunya kopi sachet. Saya cari minuman lokal, ketemunya Cica-cola (botol, kaleng). Saya cari kaset musik tradisional (ternyata VCD bajakan banyak) ketemunya dangdut koplo. Ah, globalisasi ga asik!

Btw, saya masih penasaran sampai sekarang. Mengapa wajah asli orang Nias itu malah mirip orang Dayak dan beda sekali dengan orang Batak atau Sumatera daratan lainnya? Mohon pencerahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun