Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Asta Cita Prabowo - Gibran dan Upaya Mengatasi Pengangguran

18 Juli 2024   14:20 Diperbarui: 18 Juli 2024   14:27 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rencana apa yang akan dilakukan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pilpres 14 Februari 2024, sudah ditetapkan dalam proses pencalonannya. Dokumen itu dinamakan Asta Cita, yang artinya 8 tujuan, cita-cita atau keinginan. Sedangkan seperti diketetahui presiden Jokowi selama 2 periode kepemimpinannya mengusung konsep Nawa Cita atau 9 cita-cita.

Dari ke-8 Asta Cita Prabowo -- Gibran itu, yang ingin disorot disini adalah Asta Cita yang ke-3 yaitu; Meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur. Lalu lebih fokus lagi kita ke keinginan dari Prabowo-Gibran untuk meningkatkan jumlah lapangan kerja yang berkualitas serta mendorong kewirausahaan.

Masalah lapangan kerja sekarang ini perlu terus diperhatikan karena angka pengangguran selama 10 tahun terakhir kepemimpinan pak Jokowi, besarannya relatip tidak banyak berubah dari tahun ke tahun sebagaimana yang terlihat pada data BPS.

Pada Agustus 2014 ketika pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengawali tahun pertama pemerintahannya, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2014 menurut BPS adalah 5,70% (7,2 juta orang), kemudian 5 tahun berikutnya pada tahun 2019 (tahun pertama Joko Widodo-Ma'ruf Amin), TPT berada pada angka 5,28% (7,05 juta orang) Sakernas Agustus 2019, dan pada bulan Agustus 2023 TPT menjadi 5,32% (7,86 juta orang). Jadi besarannya tak pernah turun dari 7 juta orang dalam 10 tahun terakhir.

Dan bukan saja pengangguran terbuka sebenarnya yang didapatkan dari data Sakernas itu, tapi BPS juga menampilkan data setengah penganggur yaitu penduduk bekerja di bawah jam normal (kurang dari 35 jam seminggu) tetapi masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan, diantaranya karena penghasilan yang kecil. Tetapi selama ini data setengah penganggur ini kurang diekspose ataupun kurang dikenal dibanding pengangguran terbuka. Contoh setengah penganggur adalah guru honorer di sekolah. Mereka bekerja sampai 6 hari seminggu dengan sepatu mengkilap dan seragam tenaga pengajar, tetapi penghasilannya relatip kecil yaitu 450 ribu rupiah per bulan. Jumlah setengah penganggur ini menurut BPS pada bulan Agustus 2023 mencapai 9,34 juta orang, yang justru meningkat dari keadaan bulan Februari 2014 yang masih 7,3 juta setengah penganggur.

Kondisi penganggur maupun setengah penganggur ini harus menjadi perhatian serius karena usia rata-rata dari para penganggur adalah antara 20 hingga 30 tahun (selesai SMA dan Perguruan Tinggi) yang merupakan tahapan yang sangat penting dalam proses kehidupan manusia yaitu saatnya untuk kawin dan membangun keluarga. Semua dari orang muda yang menganggur dan para orang tua berkeinginan agar anaknya dapat pekerjaan yang layak sebelum kawin.

Dan seperti diketahui faktanya pekerjaan itu sulit, walaupun berkali-kali si penganggur mengajukan lamaran serta mencoba sampai bertahun-tahun. Apalagi untuk pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikan, dan kapasitas dari pencari kerja. Akhirnya terpaksa si penganggur menggeluti kerja serabutan yang sama sekali tidak sesuai dengan ijazah dan tingkat pendidikannya, yang penting bisa bertahan hidup.

Sekarang ini pemandangan yang sudah dianggap biasa saja, dimana ada seorang Sarjana Hukum justru jualan cilok keliling kampung. Sarja Pendidikan ada yang keliling menjajakan racun tikus. Dan teman saya seorang tenaga rekrutmen untuk TKI Malaysia dengan bangga mengatakan bahwa sebagian besar yang dia rekrut untuk kerja kelapa sawit di Malaysia adalah bergelar Sarjana, sementara dia sendiri tidak tamat SD.

Kemudian alternatip untuk berwirausaha juga tidak kalah tantangannya. Memulai usaha bagi sebagian besar lulusan merupakan sebuah langkah beresiko, sehingga lebih senang jadi orang gajian.

Dengan demikian kerja serabutan merupakan pilihan yang paling memungkinkan. Walaupun disadari juga dengan kerja serabutan tanpa penghasilan yang jelas akan sangat memberatkan. Keuangan keluarga yang serba terbatas akan berdampak pada generasi ataupun bayi yang dikandung serta yang akan dilahirkan, yaitu yang tidak bisa mendapatkan asupan gizi yang cukup, karena susu tidak mampu dibeli. Ujung-ujungnya adalah ancaman tumbuh kembang bayi yang tidak normal atau stunting, tak bisa dihindari.

Lapangan Kerja Berkualitas

Seperti dikemukakan diatas perhatian dari pasangan Prabowo-Gibran terhadap masalah ketenagakerjaan dinyatakan dalam  Asta Cita yang ke-3 yaitu meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas serta mendorong para lulusan sekolah untuk berwirausaha.

Disini ditekankan pada kata 'berkualitas' untuk lapangan kerja yang diciptakan. Maksudnya adalah pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi dan kapabilitas pencari kerja ataupun tingkat dan jenis pendidikannya yang akan mendapatkan tingkat penghasilan yang memadai.

Menciptakan lapangan kerja berkualitas ini merupakan gagasan yang sudah diusung oleh pak Prabowo sejak Pilpres tahun 2019. Ketika itu (Desember 2018) muncul sebuah Video yang berdurasi sekitar 1 menit dari Partai Gerindra yaitu yang menyampaikan pesan keprihatinan dari masalah pengangguran sarjana. Pada video itu terlihat seorang lulusan tehnik arsitektur yang beralih profesi sebagai tukang photo. Dan pada proses konstelasi pilpres 2024 sekarang ini isu itu dimunculkan kembali sebagai salah satu dari Asta Cita.

Lalu bagaimana strategi mewujudkan lapangan kerja berkualitas itu. Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Pemilih Muda Fanta HQ, Prabowo-Gibran, Dedek Prayudi mengemukakannya kepada media pada bulan Desember 2023 yang lalu.

"Poin ketiga (Asta Cita 3) itu akan kami kawinkan dengan poin keempat (Asta Cita 4) yaitu membangun sekolah unggul terintegrasi. Itu artinya terintegrasi dengan dunia usaha dan industri, di setiap kabupaten dan kota," jelas Dedek Prayudi seperti dikutip dari beritasatu.com (8/12/2023).

Dilanjutkannya, pembangunan sekolah di setiap kabupaten dan kota yang terintegrasi dengan dunia usaha merupakan kunci keberhasilan untuk mengatasi masalah pengangguran anak muda.

"Jadi inti strateginya adalah, mengawinkan industri, ketenagakerjaan, dan pendidikan. Karena ketiganya ini selama ini masih bergerak masing-masing, dan kami akan menggerakkan ketiga sektor ini ke arah yang sama".

Bukan Solusi Baru

Apa yang dikemukakan dari Tim Prabowo-Gibran itu, tentu saja patut diberikan apresiasi sebagai sebuah rencana yang diharapkan akan bisa menambah lapangan kerja berkualitas pada 5 tahun kedepan. Kebijakan itu merupakan  kebijakan yang akan memadukan keterkaitan dan kesepadanan atau link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Menurut analisis ini sebenarnya ada banyak pekerjaan yang tersedia di dunia usaha dan dunia industri, tapi pihak lulusan tidak bisa memenuhinya. Atau terjadi apa yang disebut dengan ketidak keterkaitan (misslink) dan ketidak sesuaian (missmatch) antara permintaan dan penawaran tenaga kerja khususnya untuk sekolah kejuruan dan politeknik (vokasi).

Akan tetapi walaupun diyakini akan memberikan solusi bagi pengangguran dikalangan anak muda, sebenarnya kalau diperhatikan tawaran strategi mengatasi pengangguran yang dikemukakan diatas bukanlah sebuah solusi baru. Kebijakan itu sudah berumur lama. Bahkan kebijakan link and match ini sudah dimulai sejak mantan Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Wardiman Joyonegoro, tahun 1989.

Kebijakan ini juga sudah lama dikeritik, karena tidak menimbulkan dampak signifikan. Diantaranya oleh Dr. Tri Budhi Sastrio, dosen di Universitas Surabaya. Dalam tulisannya di kompasiana.com (Fatamorgana 'Link and Match'; 24 Juni 2015) beliau mengemukakan; "Sudah sejak lama konsep 'link and match' ini diusulkan, dibuatkan program, dicoba dilaksanakan, kemudian dievaluasi hasilnya. Ketika hasilnya dianggap tidak memadai, siklus yang sama kembali diulang. Hasil evaluasi digunakan untuk kembali membuat program, diusulkan, dieksekusi, dan dievaluasi. Tetap tidak memuaskan? Siklus kembali diulang. Begitulah konsep ini terus timbul tenggelam".

Selain itu kebijakan link and match ini juga mengandung unsur ketidak adilan diantara semua lulusan, dimana yang diperhatikan dari kebijakan itu hanyalah lulusan pendidikan vokasi sementara diluarnya seperti diabaikan. Seolah-olah yang perlu pekerjaan adalah lulusan vokasi itu saja, sedangkan yang Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum, Sarjana Pemerintahan dan lainnya tidak butuh pekerjaan. Sementara yang lulusan politeknik itu jumlahnya kurang dari 10% dari seluruh lulusan Sarjana secara nasional.

Data dari  Kemendikbudristek; 'Ikhtisar Data Pendidikan Tinggi Tahun 2022/2023', memperlihatkan jumlah lulusan sarjana secara nasional tahun 2023 mencapai 1.842.588 orang, dan hanya 148.794 orang (8,07%) yang lulusan Politeknik yang terus diupayakan untuk link and match. Lalu bagaimana dengan sarjana lainnya?@

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun