Sedangkan penggunaan alat kontrasepsi jangka pendek bersifat labil, karena sering terjadi lupa pada pemakainya, sehingga kehamilan yang tidak diinginkan sering juga terjadi. Ini akan menaikkan angka drop out, dalam pemakaian alat kontrasepsi.
Karena pentingnya pemakaian MKJP itu, maka pemerintah Indonesia melalui BKKBN terus mengkampanyekan penggunaan MKJP dari tahun ke tahun, bahkan diberikan pelayanan tanpa biaya bagi ibu-ibu yang mau memakai IUD, steril dan implan.
Suntikan masih tertinggi
Walaupun pihak BKKBN terus berupaya mengkampanyekan pemakaian MKJP selama ini, akan tetapi ternyata faktanya masih sebagian besar  dari Pasangan Usia Subur (PUS) lebih nyaman dan senang melindungi dirinya dari kehamilan dengan alat kontrasepsi suntikan dan Pil.
Data sampai dengan tahun 2021 yang didapat dari hasil Pendataan Keluarga tahun 2021 (PK21) yang dilaksanakan oleh BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) Â memperlihatkan sebagian besar dari PUS yang aktip melindungi dirinya dengan salah satu alat kontrasepsi menggunakan Suntikan.
Berdasarkan hasil PK21 itu, dari 21.897.849 pasangan yang aktip memakai kontrasepsi secara nasional, sebanyak 16.991.069 pasangan diantaranya atau 77,59% yang memakai metode jangka pendek yaitu Suntikan, Pil, Kondom dan Mal. Metode Mal adalah Metode Amenore Laktasi yaitu metode menyusui bayi ekslusif, yang secara tradisional bisa mencegah kehamilan. Adapun rinciannya adalah;
Â
Hasil PK21 itu memperlihatkan khusus untuk suntikan saja, pemakainya hampir 60% dari peserta KB aktif, dan menjadi alat kontrasepsi terbanyak dipakai. Bahkan ada temuan di lapangan mengenai suntikan ini, seorang ibu yang sudah monopause, masih datang ke Bidan untuk minta dilayani suntik KB. Katanya dia merasa lebih sehat setelah suntik KB itu.
Kemudian untuk MKJP, menurut hasil PK21, ada sebanyak 4.906.780 pasangan yang menggunakannya dari    21.897.849 pasangan yang aktip memakai kontrasepsi, atau 22,4% dari total peserta KB aktif. Adapun rinciannya adalah;
Walaupun belum menjadi yang terbesar porsinya, akan tetapi ikhtiar BKKBN untuk meningkatkan porsi pemakaian MKJP menunjukkan keberhasilan. Hal itu terlihat dari data sebelumnya yaitu data hasil SDKI 2012 memperlihatkan MKJP masih 10.60% dari peserta KB aktif, kemudian SDKI 2017 MKJP meningkat lagi menjadi 13.40% dari peserta KB aktif. Dan pada tahun 2021 menurut PK21, persentasenya meningkat lagi menjadi 22,4%.
Akan tetapi untuk penggunaan MKJP di Indonesia, ternyata masih jauh tertinggal dengan tren global, dimana tingkat penggunaan MKJP di seluruh dunia menurut data dari UN DESA Population Division (2019), sudah berada pada angka 45.2 persen, sementara Indonesia baru setengah dari itu yaitu 22,4 persen. Dan ini menjadi tantangan serius kedepan ini.
Demikian pula dari segi penggunaan kontrasepsi menurut jenisnya, Indonesia masih didominasi oleh suntikan (60%), sementara di tingkat global, suntikan KB hanya dipakai oleh 8% dari peserta KB aktif (current user).
Pada tingkat global untuk per mix kontrasepsi, steril wanita merupakan pilihan terbanyak dari ibu-ibu yaitu yang mencapai 219 juta pengguna yang merupakan 24% dari peserta KB aktip seluruh dunia sebanyak 922 juta pasangan. Kemudian yang kedua kondom pria 189 juta (21%) dan ketiga IUD sebanyak 159 juta (17%). Selengkapnya terlihat pada gambar berikut;
Masih sulit diarahkan
Sepertinya memang masih cukup sulit untuk dirubah, tren ataupun kecendrungan pasangan usia subur (PUS) di Indonesia dalam penggunaan alat konrasepsi. Untuk kedepan ini, pola masih tetap sama dimana suntikan dan pil yang paling mendominasi dan diminati.
Lalu pertanyaannya adalah; mengapa PUS di Indonesia lebih menyukai penggunaan suntikan dan pil daripada MKJP?