Penyuluh KB adalah PNS yang memenuhi kualifikasi dan standar kompetensi serta diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan, pelayanan, penggerakan dan pengembangan program kependudukan, keluarga berencana dan pembangunan keluarga (Permenpan No 21 tahun 2018).
Dari definisi itu maka terlihat salah satu tugas utama dari Penyuluh KB adalah melakukan penyuluhan yaitu dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada keluarga dan masyarakat.
Tujuannya adalah untuk membantu keluarga agar dapat memahami dan berperilaku sehingga terwujud keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Indikator dari keberhasilan seorang Penyuluh KB dalam pelaksanaan penyuluhan dan tugas-tugas lainnya di lini lapangan diantaranya adalah tercapainya target-target sasaran program strategis yang ditetapkan secara nasional oleh BKKBN Pusat yaitu:
(1). Menurunnya angka kelahiran total (TFR); (2). Meningkatnya prevalensi kontrasepsi modern (mCPR); (3). Menurunnya kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (Unmet need); (4) Meningkatnya peserta KB aktif yang menggunakan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP); (5) Menurunnya tingkat putus pakai kontrasepsi. Kemudian juga puluhan target Sasaran Program.
Dan mengakhiri RPJMN 2015-2019, ternyata pada tahun 2019 sebagaimana yang dipaparkan pada Laporan Kinerja (Lakip) BKKBN tahun 2019, selain adanya beberapa target program yang tercapai dan terlampaui, ada juga sejumlah target rencana strategis BKKBN yang belum tercapai.
Adapun target dan pencapaian sasaran dari Laporan Kinerja (Lakip) BKKBN tahun 2019 yang tidak tercapai yang dimaksudkan itu adalah;
1. Angka Kelahiran Total (TFR)
TFR ditargetkan untuk tahun 2019 yang merupakan tahun terakhir dari RPJMN 2015-2019 adalah sebesar 2,28. Ternyata angka TFR ini menurut hasil dari Survei Kinerja Dan Akuntabilitas Program KKBPK (SKAP) tahun 2019 yang bisa dicapai adalah 2,45. Terjadi kenaikan dibanding angka TFR tahun 2018. Bahkan, angka TFR itu justru lebih tinggi juga dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017 yang memperlihatkan TFR rata-rata nasional mencapai 2,40.
2. Persentase pemakaian kontrasepsi modern (modern Contraceptive Prevalence Rate/mCPR)
Prevalensi pemakaian alat kontrasepsi modern akan berpengaruh pada besaran angka TFR. Dan angka  mCPR ini pada 2019 ternyata pencapaiannya dibawah target dimana yang bisa direalisasikan hanya sebesar 54,97% dari target RPJM sebesar 66%. Dan selama 5 tahun 2015-2019 target mCPR belum pernah bisa dicapai.
3. Kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (Unmet need)
Kebutuhan pelayanan KB yang tidak terpenuhi adalah persentase wanita kawin yang tidak ingin punya anak lagi atau ingin menjarangkan kelahiran berikutnya, tetapi tidak memakai alat kontrasepsi.
Secara teoritis inilah kelompok sasaran PUS yang mendesak untuk diajak be-KB. Posisi yang diinginkan tahun 2019 adalah 9,9% tetapi hasil SKAP 2019 menunjukkan angka 12,1%. Jadi belum tercapai. Dan sejak 2015 angka capaian juga tidak pernah bisa mencapai target.
4. Persentase PUS yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang semua jenis metode kontrasepsi modern.
Sebagai hasil dari penyuluhan yang intensif kepada PUS seharusnya mereka memahami semua jenis pilihan alat kontrasepsi. Akan tetapi ternyata selama 5 tahun terakhir 2015-2019 target dan pencapaiannya selalalu dibawah target.Â
Bahkan untuk tahun 2019 justru yang terendah yaitu sebesar 13,6% dari target 70%. Dan target 70% itu adalah wajar, karena untuk memantapkan pilihan alat kontrasepsi setiap PUS yang akan memakai alat kontrasepsi seharusnya semuanya memahami seluruh alternatif kontrasepsi yang ada.
Dari sejumlah indikator program yang capaiannya dibawah target yang diinginkan itu, bagaimanapun juga salah satu dari faktor penyebab yang cukup berpengaruh adalah karena Penyuluh KB yang belum maksimal dalam memberikan penyuluhan kepada sasaran, baik itu dari segi kuantitas maupun kualitas.
Hal itu diperkuat dengan temuan dari hasil SKAP 2019 yaitu dalam hal sumber informasi mengenai alat kontrasepsi moderen. Menurut SKAP itu Penyuluh KB sebagai salah satu sumber informasi mengenai alat kontrasepsi ternyata cukup rendah persentasenya yaitu sebesar 16%.Â
Persentase itu menurun dibanding hasil SKAP 2018 yang sempat mencapai 27% (SKAP 2019 – Keluarga, hal 229). Sedang kalau menurut hasil SDKI 2012 malah persentase itu hanya 5,2%.
Angka ini memperlihatkan betapa kecilnya peran Penyuluh KB sebagai sumber informasi program KB bagi sasaran penyuluhan. Dengan kata lain penyuluhan yang dilakukan belum mengena atau kuantitas dari penyuluhan itu yang kurang atau juga penyuluhan itu bahkan tidak pernah sama sekali.
Melihat fakta itu, maka perlu dicari solusi agar Penyuluh KB di lini lapangan bisa efektip melaksanakan tugasnya. Hal itu karena mengandalkan kekuatan BKKBN Pusat dan provinsi dalam melakukan KIE memiliki banyak keterbatasan.Â
Dalam hal ini Direktorat Advokasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi sebagai unit kerja yang berada di bawah Deputi Bidang Advokasi, Penggerakan dan Informasi (ADPIN) BKKBN yang selama ini menggerakkan KIE melalui media, baik above the line, through the line maupun below the line, memiliki keterbatasan dan kekurangan. Apalagi belakangan media elektronik seperti radio bahkan sekarang televisi sudah mulai ditinggal oleh pemirsanya dan beralih ke media hand phone.
Kemudian dari hasil analisis dan evaluasi yang dilakukan diketahui faktor-faktor yang membuat belum maksimalnya kinerja penyuluhan dari rekan-rekan Penyuluh KB. Adapun yang masih menyebabkan belum maksimalnya kinerja Penyuluh KB di lapangan adalah;
1. Belum adanya dukungan anggaran yang memadai bagi kegiatan penyuluhan
Kegiatan penyuluhan Bangga Kencana dilakukan melalui penyuluhan tatap muka, penyuluhan kelompok, dan penyuluhan dengan audien yang banyak (KIE massa). Lalu yang dilakukan oleh Penyuluh KB adalah penyuluhan kelompok antara 5 sampai 20 orang dalam satu tempat.
Sedangkan penyuluhan perorangan mulai agak sulit dilaksanakan karena belakangan orang merasa terganggu untuk didatangi secara khusus. Dan penyuluhan massa lebih mengarah kepada penyuluhan dengan media cetak serta elektronik.
Dan hambatan yang ada dalam pelaksanaan penyuluhan kelompok pastinya adalah belum adanya dukungan pendanaan yang memadai untuk mengumpulkan orang. Karena pada zaman ‘now’ saat ini, setiap mengumpulkan orang maka itu berarti harus ada jajan kotak dan transport.Â
ahkan kalau sampai jam 12, harus ada juga makan siang. Inilah yang belum ada dukungan anggarannya, sehingga penyuluhan kelompok tidak berjalan seperti yang diharapkan.
2. Penyuluhan pada pelaksanaan Posyandu yang agak sulit
Kalau dilihat adanya dukungan anggaran transport Penyuluh ke Posyandu, maka sepertinya ada hajat dari pembiayaan itu agar penyuluh KB memberikan penyuluhan pada waktu Posyandu, yang dilaksanakan di setiap dusun di desa binaan.
Akan tetapi dari apa yang dialami dan pengamatan di rekan-rekan penyuluh lainnya, ternyata menyelenggarakan penyuluhan di Posyandu termasuk agak sulit. Adapun hambatan yang dimaksud adalah;
Posyandu bukan untuk forum pertemuan
Maksud dari ibu-ibu sasaran Posyandu untuk datang pada kegiatan Posyandu adalah untuk dilayani yaitu terkait dengan bayi dan anaknya yang diimunisasi, penimbangan berat badan anaknya, dan ibu-ibu hamil untuk memeriksa perkembangan kehamilannya. Sedangkan pertemuan memerlukan waktu khusus, karena membutuhkan persiapan dari audien untuk hadir dan mendengarkan, tersedianya fasilitas pertemuan seperti ruang dan pengeras suara, serta kesiapan dari penyuluh untuk menyampaikan materinya
Suasana Posyandu yang ribut
Posyandu dalam pelaksanaannya cukup ribut sehingga kurang kondusif untuk mengadakan pertemuan. Selain karena takut dan sakit disuntik imunisasi, untuk sekedar ditimbang saja ternyata banyak anak-anak di Posyandu yang justru takut dan ujung-ujungnya menangis. Tangis akan mengganggu karena bising. Dan tidak ada pelaksanaan Posyandu yang sepi dengan tangis anak-anak.
Ibu-ibu yang terburu-buru
Banyak ibu-ibu yang ingin pulang cepat setelah datang ke Posyandu, karena alasan ingin segera masak, mengangkat jemuran, atau mau belanja, ke sawah dan lain-lainnya. Sehingga kalau sudah anaknya ditimbang maka segeralah dia balik kanan. Sehingga tidak heran, meja 4 atau fungsi yang keempat yaitu Penyuluhan oleh Kader hampir tidak bisa terlaksana di setiap posyandu
3. BOKB yang lebih mengarah ke Kampung KB
Ada lebih dari 15 kali pertemuan di Kampung KB dalam satu tahun anggaran yang didukung oleh dana Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB). Sedangkan di luar desa Kampung KB justru tidak ada. Jelas ini tidak menarik. Bahkan di Kampung KB sendiri ada juga keluhan dengan pertemuan itu yaitu karena pesertanya itu-itu terus dan dengan materi yang tidak terencana dengan baik.
4. Dana desa yang sulit diakses
Sebenarnya dana desa dalam bentuk APBDes sekarang sudah sangat besar rata-rata diatas 1 miliar tiap desa. Seharusnya dana desa bisa untuk mendukung kegiatan penyuluhan kelompok, karena untuk kepentingan warga desa yang bersangkutan.Â
Akan tetapi faktanya, usulan dari Penyuluh KB untuk paket penyuluhan sebesar 10 juta saja, tidak bisa dipenuhi, padahal jumlah itu tidak sampai 1% dari APBDes. Penyebabnya yang paling menonjpl adalah karena ego sektoral dari pihak desa, dimana pemdes berada dibawah Kementerian Desa, dan diluar itu adalah instansi lain.
Itu kira-kira beberapa penyebab sehingga penyuluhan kelompok tidak bisa terlaksana sebagaimana diharapkan di lini lapangan. Walaupun demikian diakui ini hanyalah sebuah opini dimana terbuka peluang untuk didiskusikan, karena bisa jadi ada rekan Penyuluh KB yang lain yang juga punya pendapat berbeda atau justru bertolak belakang.
Kemudian kalau mengacu pada kendala yang dikemukakan diatas, maka untuk bisa terlaksananya kegiatan penyuluhan dengan baik di lapangan, maka dibutuhkan dukungan pendanaan yang khusus untuk itu. Dalam hal ini perlu dukungan kebijakan sehingga ada anggaran untuk jajan dan transport dalam pelaksanaan penyuluhan kelompok di lini lapangan.
Untuk memulai kebijakan itu maka terlebih dahulu harus dibuatkan sebuah kajian semacam Kerangka Acuan ataupun Term of Reference dari pelaksanaan penyuluhan kelompok.
Dalam hal ini sebagai referensi dalam pembuatan Kerangka Acuan itu maka berikut beberapa masukan yang mungkin bisa ditindaklanjuti;
Biaya dan banyaknya kegiatan penyuluhan kelompok di desa
Biaya pelaksanaan kegiatan pertemuan tentu saja sudah ada standarnya, dimana untuk tingkat pusat dihitung; jajan 17 ribu, makan 41 ribu dan transport 152 ribu. Sedang di tingkat daerah berbeda-beda, dimana untuk kabupaten Lombok Timur misalnya; jajan 10 ribu, makan 25 ribu dan transport 25 ribu potong pajak.
Sedangkan untuk pendanaan kegiatan penyuluhan kelompok yang dilaksanakan di tingkat dusun, bisa saja standarnya dibawah itu. Misalnya; jajan cukup 5 ribu, transport 10 ribu dan tak perlu makan siang karena pertemuan hanya 1 sampai 1,5 jam dari jam 9 sampai jam 10.30. Sehingga per orang biayanya hanya 15 ribu, tidak perlu fasilitator karena  penyuluhan langsung dilakukan sendiri oleh Penyuluh KB.
Kalau 10 orang yang diberikan penyuluhan dalam satu kegiatan pertemuan maka biaya untuk satu paket penyuluhan kelompok dengan hitungan itu adalah 150 ribu. Lalu kalau jumlah penyuluhan 1 kali dalam seminggu maka dalam sebulan bisa 4 kali penyuluhan untuk satu desa, dan 48 kali setahun. Sehingga anggaran yang dibutuhkan 48 kali 150 ribu yaitu 7 juta 200 ribu.
Besaran ini akan bisa dipenuhi oleh dana BOKB. Karena sebagai contoh di kabupaten Lombok Timur saja dana BOKBnya mencapai 6,4 miliar, sehinga kalau jumlah ini dibagi rata ke 254 desa di Lombok Timur maka akan sama-sama kena 250 juta per desa. Dengan demikian kalau ada kebijakan, maka dana penyuluhan kelompok antara 7-10 juta per desa akan bisa dipenuhi.
Sasaran dan materi penyuluhan
Begitu banyak materi penyuluhan Bangga Kencana yang perlu disampaikan kepada masyarakat di desa, dan masing-masing materi mebutuhkan sasaran yang berbeda. Sehingga sebuah paket materi penyuluhan harus jelas spesifikasi sasarannya. Misalnya penyuluhan 2 anak cukup sasarannya adalah PUS dengan anak 1 atau 2 anak. Untuk penyuluhan Kontap pria, maka sasarannya adalah orang tua atau bapak-bapak yang anaknya lebih dari 3. Sedang materi pengembangan usaha diarahkan untuk PUS yang memiliki usaha atau kerajinan. Dan seterusnya.
Pelaksana di lapangan
Untuk mengorganisir pertemuan penyuluhan di tingkat dusun maka yang bisa diperankan adalah Sub PPKBD (Pembantu Pembina KB Desa). Dia bertugas memberikan undangan atau pemberitahuan, sesuai spesifikasi dari calon peserta pertemuan.
Dari apa yang dipaparkan di atas, maka bisa disimpulakan bahwa kegiatan penyuluhan kelompok di desa dan dusun sangat penting dan strategis bagi sosialisasi program Bangga Kencana BKKBN di lini lapangan.
Secara nasional ada sebanyak 83.931 wilayah administrasi setingkat desa yang terdiri dari 75.436 desa, 8.444 kelurahan serta 51 Unit Permukiman Transmigrasi. Apabila penyuluhan kelompok program Bangga Kencana dilaksanakan sampai 50 kali setahun, maka dalam satu tahun di seluruh Indonesia akan ada 83.931 kali 50 pertemuan yaitu 4.196.550 kali kegiatan penyuluhan kelompok.
Kegiatan itu juga pastinya akan diunggah oleh mereka yang terlibat, yaitu melalui media sosial, facebook, whatsup, instagram, tweeter, youtobe dan lainnya. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kuatnya gaung dari program KB di desa dan kelurahan.
Adanya dukungan untuk penyuluhan kelompok juga menjadi pendukung eksistensi dari Penyuluh KB sebagai sebuah profesi sebagaimana profesi guru dan lainnya. Apabila itu tidak dilakukan yaitu penyuluhan kelompok tidak ada maka jargon yang selama ini dikedepankan yaitu Penyuluh KB merupakan ujung tombak, hanyalah jargon semu karena Penyuluh KB memegang ujung tombak yang tumpul.@
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H