Mohon tunggu...
Agus Netral
Agus Netral Mohon Tunggu... Administrasi - Kemajuan berasal dari ide dan gagasan

Peneliti pada YP2SD - NTB. Menulis isu kependudukan, kemiskinan, pengangguran, pariwisata dan budaya. Menyelesaikan studi di Fak. Ekonomi, Study Pembangunan Uni. Mataram HP; 081 918 401 900 https://www.kompasiana.com/agusnetral6407

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bonus Demografi dan Beban Pengangguran

31 Oktober 2019   15:00 Diperbarui: 1 November 2019   07:31 615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Selama ini dalam hal penanganan pengangguran dan perluasan lapangan kerja, salah satu kebijakan penting yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah memadukan keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara dunia pendidikan dan dunia kerja yaitu dengan menyiapkan tenaga lulusan yang sesuai kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (dudi).

Kebijakan ini diambil karena dari analisis yang dilakukan ternyata banyak kebutuhan dudi yang tidak bisa dipenuhi oleh spesifikasi dari lulusan. Menurut analisis ini ada banyak pekerjaan yang tersedia di dunia usaha dan dunia industri, tapi pihak lulusan tidak bisa memenuhinya. Atau terjadi apa yang disebut dengan ketidak keterkaitan (misslink) dan ketidak sesuaian (missmatch) antara permintaan dan penawaran tenaga kerja khususnya untuk sekolah kejuruan dan politeknik (vokasi).

Tetapi program link and match ini sebenarnya bukanlah hal baru melainkan kebijakan lama yang sudah dilaksanakan sejak mantan Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Wardiman Joyonegoro, tahun 1989, dan terus sampai saat ini diutak atik. Dan kebijan ini juga sudah lama dikeritik, karena tidak menimbulkan dampak signifikan. Diantaranya oleh Dr. Tri Budhi Sastrio, dosen di Universitas Surabaya. Dalam tulisannya di kompasiana.com (Fatamorgana 'Link and Match'; 24 Juni 2015) beliau mengemukakan; "Sudah sejak lama konsep 'link and match' ini diusulkan, dibuatkan program, dicoba dilaksanakan, kemudian dievaluasi hasilnya. Ketika hasilnya dianggap tidak memadai, siklus yang sama kembali diulang. Hasil evaluasi digunakan untuk kembali membuat program, diusulkan, dieksekusi, dan dievaluasi. Tetap tidak memuaskan? Siklus kembali diulang. Begitulah konsep ini terus timbul tenggelam".

Sampai kapankah? Tidak ada batas sampainya.

Yang jelas kebijakan link and match ini juga menghadapi sebuah kondisi anomali. Seperti yang dipaparkan oleh lembaga Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Berdasarkan catatan INDEF, jumlah penganggur lulusan SMK naik dari kisaran 1 juta orang pada 2012 menjadi sekitar 1,7 juta orang pada 2018. Sementara itu, penganggur lulusan PT meningkat dari sekitar 400.000 orang menjadi 700.000 orang.

Kenaikan itu merupakan anomali jika dibandingkan dengan tingkat angkatan kerja menganggur berdasarkan latar belakang pendidikan lain. Jumlah penganggur lulusan SD, SMP, dan SMA cenderung turun pada periode yang sama.

Kondisi ini cukup memprihatinkan. SMK didesain untuk mencegah pengangguran. SMK menjadi link atau jembatan antara pendidikan formal dan perusahaan agar tamatannya bisa langsung bekerja. Kurikulum dan mata pelajaran di SMK harus match atau sesuai dengan kebutuhan dunia usaha.

Namun, dalam kenyataan, SMK justru menghasilkan paling banyak penganggur terbuka. Itu berarti link and match tidak jalan. Alumni SMK tidak mampu memenuhi kebutuhan dunia usaha. SMK gagal menjadi link ke dunia usaha akibat kualitas pendidikannya yang tidak match dengan dunia usaha.

INDEF juga memandang kehadiran Balai Latihan Kerja (BLK) di daerah belum banyak membantu penyerapan tenaga kerja. Data yang dimiliki INDEF menunjukkan dari total penganggur sebanyak lebih dari 7 juta orang pada 2018, ada 1,18 juta orang diantaranya pernah mendapatkan pelatihan kerja di BLK.

Tetapi kalau diamati dari sisi permintaan dan penawarannya, sebenarnya bukan karena tidak link and match, tetapi pengangguran di jurusan vokasi lebih disebabkan perusahaan atau industrinya yang terbatas dan dengan pertumbuhan yang lambat, sementara lulusannya bertambah terus setiap tahun. Sebagai contoh lulusan tenaga kesehatan, bukan karena mereka tidak kompeten tapi fasilitas kesehatan yang sangat terbatas dengan pertumbuhan yang lambat, tidak sejalan dengan produksi perawat, bidan dan dokter yang diwisuda setiap tahun di seluruh tanah air.

Selain itu kebijakan link and match ini juga mengandung unsur ketidak adilan diantara semua lulusan, dimana yang diperhatikan dari kebijakan itu hanyalah lulusan pendidikan vokasi sementara diluarnya seperti diabaikan. Seolah-olah yang perlu pekerjaan adalah lulusan vokasi itu saja, sedangkan yang Sarjana Agama, Sarjana Hukum, Sarjana Pemerintahan dan lainnya tidak butuh pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun