Listrik telah menjadi kebutuhan pokok bagi kehidupan modern. Sebagaimana halnya kebutuhan pangan, listrik seharusnya mendapat perhatian dan perlakuan yang sama. Negara harusnya dapat menjamin ketersediaan listrik sebagaimana menjamin ketersediaaan bahan pangan, perumahan dan bahan bakar minyak (BBM).
Pemerintah dan rakyat semestinya sadar bahwa pasokan listrik adalah terbatas, sehingga penggunaannyapun harus bijak. Sangat perlu dipahami antara penggunaan listrik sebagai kebutuhan primer dengan penggunaan listrik sebagai kebutuhan sekunder atau tersier. Sebagai contohnya masalah lampu, penggunaan lampu dalam rumah tangga tidak terlepas dari anomali tersebut. Fungsi lampu yang utama adalah sebagai penerangan di malam hari sehingga memudahkan manusia untuk beraktifitas di malam hari. Meskipun demikian fungsi utama lampu tersebut mulai bertambah dari hanya sebatas penerangan menjadi berfungsi sebagai keindahan. Gedung-gedung tinggi di kota-kota besar akan terlihat megah dan indah dengan tata cahaya lampu yang gemerlap di malam hari.
Pemerintah sudah seharusnya menjamin pasokan listrik yang digunakan sebagai kebutuhan primer. Rencana pencabutan subsidi jangan hanya dikaitkan dengan pertimbangan subsidi listrik membebani keuangan negara dan layak-tidak layaknya penerima subsidi saja tetapi perlu dipertimbangkan hal-hal lainnya. Sebagaimana halnya BBM, pengurangan subsidi maupun pencabutan subsidi seringkali menimbulkan gejolak sosial dimasyarakat. Oleh karena itu pemerintah dan masyarakat sama-sama perlu memahami bahwa listrik sebagai kebutuhan primer saja-lah yang perlu mendapat subsidi. Pertanyaan yang muncul adalah berapa seharusnya daya dan penggunaan listrik yang dikategorikan sebagai kebutuhan primer.
Guna menjawab hal tersebut, identifikasi dimulai dari penggunaan listrik yang umum untuk rumah tangga saat ini. Listrik di rumah tangga banyak digunakan untuk penerangan, memasak, mencuci, menyetrika, kulkas, pendingin ruangan dll. Dari penggunaan listrik tersebut selanjutnya dipilih penggunaan mana yang termasuk kategori harus tersedia dan mana yang tidak. Hal ini seperti membedakan mana yang "seharusnya" dengan mana yang "sebaiknya", atau antara mana yang "kebutuhan" dengan mana yang "keinginan".
Daya minimal
Menurut pendapat penulis, listrik sebagai kebutuhan primer diantaranya adalah sebagai penerangan. Kebutuhan listrik untuk penerangan tidaklah besar. Sebagai contoh untuk rumah tipe 45 hanya membutuhkan sekitar 7 titik lampu (lampu teras, ruang tamu, ruang keluarga, 2 kamar tidur, kamar mandi dan halaman belakang). Jika masing-masing lampu berdaya 10W hanya dibutuhkan daya 70W. Penggunaan listrik lainnya misalnya untuk menyetrika pakaian, pompa air bagi rumah tangga yang tidak terlayani PDAM, memasak dan hiburan seperti TV dan radio. Peralatan inipun tersedia dengan daya listrik kurang dari 200W.
Setelah dapat mengidentifikasi kebutuhan listrik primer tersebut, maka selanjutnya menghitung berapa kebutuhan daya untuk rumah tangga. Perhitungannya tidak didasari pada penjumlahan seluruh daya peralatan tersebut diatas, tetapi berdasarkan jadwal penggunaannya. Misalnya pada malam hari, listrik hanya digunakan untuk penerangan dan hiburan. Jika kebutuhan penerangan 70W dan TV 150W serta efisiensi daya diasumsikan 30% maka daya listrik 300W sudah mencukupi. Disiang hari kegiatan yang dilakukan misalnya adalah menghidupkan pompa air berdaya 200W dan efisiensi 30% maka daya listrik cukup 260W. Menyetrika dapat dilakukan pada siang hari setelah pompa selesai digunakan. Dengan demikian kebutuhan daya listrik sebesar 450W sebenarnya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal yang terpenting adalah mengatur agar daya yang tersedia dapat mencukupi. Perlu dilakukan penjadwalan jangan sampai alat-alat yang butuh daya listrik yang besar digunakan secara bersamaan. Daya 450W akan terasa kurang apabila penggunaan peralatan listrik tidak dilakukan penjadwalan atau menggunakan peralatan listrik yang berdaya tinggi misalnya AC.
Konsumsi listrik minimal
Jika ditetapkan bahwa listrik yang digunakan untuk penerangan saja yang dikategorikan sebagai kebutuhan pokok, maka kebutuhan listrik rumah tangga tidaklah besar. Konsumsi listrik untuk penerangan dihitung dengan mengalikan berapa daya lampu yang digunakan dan seberapa lama penggunaannya. Sebagai contohnya untuk penerangan menggunakan 7 buah lampu berdaya @ 10W, menyala selama 10jam/hari dan asumsi efisiensi daya 30%, sehingga konsumsi listrik untuk penerangan mencapai 130% x (70W x 10j/hari x 30hari) = 27kWjam (27kWh). Guna memudahkan, konsumsi listrik penerangan dibulatkan menjadi 30kWh. Mengacu tarif subsidi tertinggi yang saat ini berlaku, ongkos penggunaan 30kWh adalah sebesar Rp. 600/kWh x 30kWh = Rp. 18.000/bulan.
Siapa yang disubsidi listrik?
Wacana bahwa pelanggan 450W saja yang mendapat subsidi, menurut penulis tidaklah sepenuhnya tepat. Konsumsi maksimum bagi pelanggan 450W dengan mengasumsikan mereka menggunakan daya 450W selama 24jam/hari selama 30hari, konsumsi listriknya adalah 324kWh. Dengan tarif subsidi Rp. 400/kWh, maka tagihan listriknya kurang dari Rp. 150.000/bulan. Perbedaan sangat mencolok bila biaya listrik tersebut dihitung menggunakan tarif komersial terendah yaitu Rp. 1.350/kWh, sehingga biaya listriknya adalah: 324kWh x Rp. 1.350/kWh = Rp. 437.400/bulan (mencapai Rp. 450.000/bulan). Artinya pemerintah harus mengalokasikan subsidi tertinggi Rp. 300.000/bulan untuk pelanggan daya 450W. Jika terdapat 21juta pelanggan 450W, maka subsidi maksimum yang perlu disiapkan adalah Rp. 75,6T/tahun. Suatu nilai yang sangat tinggi tentunya. Misalnya pelanggan 450W melakukan penghematan dengan menggunakan 30% saja (konsumsi rata-ratanya 100kWh/bulan) nilai subsidi tersebut masih tinggi pula mencapai Rp. 25T/tahun
Mekanisme subsidi ?
Listrik telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat modern. Penggunaan listrik haruslah mampu mensejahterakan masyarakat. Jangan sampai listrik menjadi beban bagi masyarakat dan pemerintah. Saat ini listrik sebagian besar masih dihasilkan dari sumber daya alam gas, minyak bumi, batu-bara yang terbatas jumlahnya, dengan demikian pasokan listrikpun juga terbatas. Pemerintah perlu merumuskan dengan bijak bagaimana menyalurkan subsidi listrik bagi rakyatnya. Bijak dalam pengertian kehidupan rakyat masih tetap sejahtera meskipun subsidi listrik dicabut, tetapi subsidi juga tidak menjadikan rakyat terlena dalam menggunakan listrik sehingga boros dan tidak produktif.
Jika benar dengan dicabutnya subsidi, negara berhemat sampai Rp. 30T/tahun, maka akankah pemerintah menjamin bahwa uang Rp. 30T tersebut lebih efektif menggerakkan perkonomian masyarakat. Artinya uang Rp. 30T selama ini langsung beredar dan menggerakkan perekonomian masyarakat. Contoh sederhananya adalah sebuah keluarga yang awalnya mampu berbelanja Rp. 100.000/bulan untuk membeli makanan gorengan buatan tetangganya, karena subsidi listrik dicabut, uang tersebut beralih untuk menambah bayar listrik, sehingga dagangannya menjadi tidak laku. Perlu diperhitungkan pula pencabutan subsidi jangan sampai membuat daya beli masyarakat menjadi turun. Hal ini justru dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut hemat penulis, mekanisme penyaluran subsidi yang sesuai adalah subsidi bersyarat. Artinya penerima subsidi tidak semata-mata yang layak untuk menerima subsidi tetapi besarnya subsidi haruslah dibatasi jumlahnya. Dalam kontek penggunaan listrik, pemerintah membatasi besaran subsidi yang diberikan misalnya penggunaan listrik maksimum yang masih mendapat subsidi (misalnya s/d 50kWh/bulan). Hal ini dimaksudkan untuk mendorong masyarakat juga berhemat dalam penggunaan listrik. Pemerintah perlu menghitung seberapa besar konsumsi listrik yang "masih mampu mensejahterakan" masyarakat. Disisi lain, pembatasan daya listrik bagi rumah tangga juga patut diapresiasi. Pengguna listrik daya rendah (900W dan 450W), secara tidak langsung telah membantu pemerintah dalam menjaga ketersediaan energi listrik. Ada kemungkinan sebagian besar dari 23 juta pelanggan yang terancam dicabut subsidinya akan berancang-ancang migrasi ke daya yang lebih tinggi, toh mereka mampu bayar. Ungkapan "yang penting bisa bayar" bisa menjadi pendorong migrasi daya besar-besaran tersebut. Ujung-ujungnya kebutuhan listrik menjadi meningkat drastis sehingga menimbulkan masalah baru yang lebih rumit menyangkut ketersediaan listrik. Oleh karena itu mekanisme subsidi bersyarat yang tepat perlu dirumuskan. Pelanggan 450W dan 900W atau bahkan 1300W patut mendapat subsidi sepanjang memenuhi syarat. Perlu diperhatikan pula bahwa tidak semua pelanggan 1300W termasuk golongan mampu. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya perumahan sederhana yang menggunakan listrik daya 1300W. Mereka juga perlu diperhatikan pula, karena tidak semuanya memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi.
Prinsip yang menjadi dasar pemberian subsidi adalah penggunaan listrik harus hemat dan produktif. Subsidi listrik diberikan pada batas-batas pemakaian tertentu yang tidak menyebabkan masyarakat menjadi “sengsara” dan negara tidak menanggung beban berat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H