[caption caption="ilustrasi (rmol.co)"][/caption]Satu tahun usia Kabinet Kerja, pola apresiasi publik terhadap bidang kerja pemerintahan kian terbentuk. Sejumlah bidang pembangunan yang berhasil menyentuh kepentingan publik menuai apresiasi. Meski demikian, penilaian pesimistis juga masih ada dalam proporsi relatif sama besar (kompas, 19/10)
Besok (20/10) genap satu tahun usia pemerintahan Jokowi – JK. Hari ini harian kompas menyoroti berbagai bidang dari mulai politik, ekonomi, hukum, dan sosial. Sebagaimana laporan hasil survei yang dirangkum oleh harian kompas, bahwa apresiasi publik terbelah terhadap penilaian kinerja Jokowi – JK. Satu pihak menilai kinerja pemerintahan Jokowi – JK telah banyak membawa perubahan, namun juga dipihak lain menilai pemerintahan Jokowi – JK belum mampu mengatasi berbagai kemelut baik yang terjadi didalam internal pemerintahan sendiri, juga dalam tata kelola kerjasama dalam bidang legislasi, dan berbagai kebijakan yang menyentuh sektor riil, isu bbm, import, dan lainnya.
Jika kita melihat fenomena keterpilihan pasangan Jokowi – JK pada saat Pilpres setahun yang lalu, memang berbeda dengan beberapa Pilpres sebelumnya. Hal itu bisa dilihat dari panasnya suhu politik ketika sebelum dan proses masa kampanye. Kemunculan Jokowi sebagai kandidat Capres kala itu memiliki momentum yang tepat ditengah menurunnya kepercayaan publik terhadap figur-figur lama yang tidak banyak menjanjikan sebuah perubahan yang signifikan. Disamping itu juga, sebagai tokoh yang hadir dari tengah-tengah rakyat, sejak menjadi walikota Solo citra Jokowi yang egaliter dan suka blusukan ditengah-tengah warga menjadi daya tarik tersendiri dibanding sosok kandidat yang lain. Bahkan ketika Jokowi baru saja menduduki kursi gubernur DKI Jakarta, aroma Jokowi akan disusung menjadi kandidat Capres sangat menyeruak, ditambah lagi munculnya hasil survey elektabilitas kandidat Capres Jokowi selalu menempati posisi tertinggi dibanding capres lainnya, bahkan Presiden ke 5 megawati sendiri yang notabene adalah ketum PDIP pun kalah populer.
Euphoria pelantikan presiden setahun yang lalu masih belum lepas dari ingatan kita, Jokowi-JK yang baru saja dilantik di gedung DPR RI diarak menuju istana, dan jalan-jalan penuh disesaki masyarakat yang ingin menyaksikan Presiden rakyat yang baru saja dilantik. Dari titik ini, kita mulai melihat sepak terjang Jokowi –JK dalam meramu kabinet kerja yang cara berbeda dengan pemerintah-pemerintah sebelumnya. Layaknya sebuah kontestasi, Jokowi melibatkan KPK dan PPATK untuk melakukan penjaringan calon menteri yang akan bekerja mensukseskan visi dan misinya.
Dinamika
Selama setahun ini, pemerintahan dibawah kendali Jokowi – JK tidak pernah sepi dari dinamika. Mulai dari beberapa menteri yang sering tidak satu suara, konflik lembaga-lembaga dibawah presiden, hingga dinamika yang terjadi dalam internal partai pengusung Jokowi-JK yang banyak melakukan “goal bunuh diri”.
Sepanjang Jokowi Jk memimpin konflik antar lembaga pembantu presiden kerap terjadi. Keberadaan lembaga Staf Kepresidenan yang dijabat oleh Luhut Panjaitan menuai banyak kritikan, tidak terkecuali datang dari Wapres Jusuf Kalla. Lembaga kepresiden dinilai over lapping dalam menjalankan tugasnya, yakni kewenangan yang dituangkan dalam Perpres no 26 tahun 2015 yang berisi perluasan tugas Kantor Staf Kepresidenan untuk melakukan pengendalian dalam rangka memastikan program-program prioritas nasional dilaksanakan sesuai visi dan misi. Staf Kepresidenan juga memiliki kewenangan melakukan penyelesaian masalah secara komrehensif terhadap program-program nasional yang dalam pelaksanaannya mengalami hambatan (kompas, 13/04).
Pada kisaran awal tahun 2015 polemik juga terjadi antara KPK dengan Polri yang oleh publik dikenal “Cicak vs Buaya Jilid III”. Polemik ini bermula dari penetapan Komjen Pol Budi Gunawan yang didapuk oleh Presiden Jokowi menjadi calon Kapolri, yang pada saat yang sama ditetapkan juga menjadi tersangka kepemilikan rekening gendut. Perseteruan ini terjadi hampir 3 bulan lamanya, dan banyak menguras energi publik. Polemik itu pun menjadi semakin memanas ketika, Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto ditetapkan menjadi tersangka oleh Polri. Perseteruan itu berakhir ketika pengajuan sidang pra peradilan atas penetapan tersangka BG dianulir oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan yang diketuai Hakim Sarpin. Dalam menyikapi pertarungan KPK vs Polri dukungan publik terbelah, dan situasi kembali memanas jelang penetapan Kapolri, maka akhirnya untuk meredam perdebatan publik Jokowi membuat langkah mengejutkan, dengan membatalkan penetapan Komjen BG sebagai Kapolri dan digantikan oleh Plt Kapolri Badrodin Haiti.
Pasca reshuffle kabinet pada agustus lalu cukup menjadi perhatian publik. Rizal Ramli yang baru saja terpilih menjadi Menko Kemaritiman dan SDM. Dengan jurus “rajawali ngepret” Rizal membuka perseteruan antara dirinya dengan Menteri BUMN Rini Soemarno, menyoal rencana pembelian pesawat garuda Aribus A350. Belum selesai beseteru dengan Rini, kembali Rizal melempar bola panas, dan tidak tanggung-tanggung ditujukan langsung kepada Wapres dengan menyoal program listrik 35.000 Watt. Kemudian terakhir berseteru dengan direktur Pelindo II perihal kasus dwelling time, jalur kereta Pelabuhan, dan kasus korupsi pengadaan crane di Pelindo II.
Selain yang terjadi dalam pemerintahan, dinamika juga terjadi pada partai pendukung. Terakhir yang saat ini sedang hangat menjadi pembicaraan adalah tentang revisi UU KPK. Dalam polemik revisi UU KPK tersebut, ada dua hal penting yang menjadi sorotan public, yakni adanya pembatasan umur KPK selama 25 tahun, dan pembatasan kewenangan penyadapan, yang notabene hal itu menjadi hal terpenting bagi KPK dalam menjalankan tugasnya. Untuk mengatasi polemic tersebut kemarin pada hari selasa (13/10) dalam sebuah rapat konsultasi antara DPR dan Presiden Jokowi yang digelar di Istana memutuskan untuk menunda pembahasan RUU KPK.
Selain dinamika yang terjadi dalam wilayah politik, persoalan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini juga banyak menguras tenaga pemerintah. Pelemahan ekonomi yang ditengarai dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar tertinggi hampir mencapai level 14.800 per dollar amerika serikat, dan turunnya indeks pasar saham menjadi persoalan pelik, dan menurunnya daya beli masyarakat. Sampai dengan saat ini, pemerintah telah mengeluarkan empat paket kebijakan ekonomi untuk meredam gejolak krisis ekonomi. Tujuan paket kebijakan ekonomi tersebut bertujuan untuk mengerakkan sektor investasi dan perekonomian riil. Kendati peluncuran paket kebijakan ke I dank e II tidak mendapatkan respon dari pasar dengan baik, namun pada paket kebijakan ekonomi ke III dan IV, mendapatkan apresiasi yang luar biasa dan ditengarai mampu mendorong penguatan nilai tukar rupiah hingga 13.300 per dollar, dan menaikkan indeks pasar saham.