Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pancasila “Masih” Sakti

30 September 2015   19:49 Diperbarui: 30 September 2015   20:15 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="ilustrasi (ugm.ac.id)"][/caption]

Dalam negara penganut demokrasi seperti halnya di Indonesia, memang saat ini memang sah-sah saja berkembang berbagai macam ideologi. Ideologi bagi kebanyakan orang memang menjadi hal yang fundamental, karena hal itu akan mengacu kepada tatacara dan sudut pandang dan melakukan tata nilai dalam kehidupan.

Keberadaan Pancasila sendiri pun sebenarnya merupakan bagian dari bentuk para pendiri bangsa ini dalam mengakomodasi kepentingan pelaksanaan ideologi oleh berbagai lapisan masyarakat. Sila pertama hingga ke lima adalah cerminannya. Dengan demikian, pancasila bisa dianggap sebagai hasil kesepakatan, dan sekaligus menjadi falsafah kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Dalam perjalanannya, Pancasila acapkali mendapati tantangan yang tidak mudah. Dari mulai pemberontakan-pemberontakan DI/TII, NII, RMS, Kudeta PKI, dan lain sebagainnya. Upaya-upaya degradasi Pancasila itu dipandang sebagai upaya yang dilakukan oleh mereka-mereka penganut ideologi tertentu dalam memaksakan kehendaknya.

Pada zaman pemerintahan Orde baru pun, sejatinya pancasila mengalami penghianatan. Pancasila sebagai sebuah falsafah, fungsinya dicampakkan dan hanya dianggap sebagai alat kekuasaan untuk memaksakan kehendak untuk mempertahankan kekuasaan. Pancasila sebagai sebuah substansi dan tuntunan dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dilaksanakan sebagaimana fungsi dan tujuan awalnya, justru pancasila dipaksakan sebagai sebuah berhala dengan dalih pemurnian ajaran Pancasila.

Pancasila kembali mendapatkan tantangan berat ketika orde reformasi dicetuskan. Keberadaan Pancasila sebagai landasan hidup dalam berbangsa dan bernegara dicampakkan begitu saja. sementara para intelektual dan kaum aktivis yang selama masa orde baru dibungkam dan ketakutan untuk menyebarkan ideologinya secara terang-terangan mendapatkan angin segar. Mereka yang pada awal reformasi bersatu padu menggulingkan orde baru, kemudian harus berbenturan antara satu sama lain demi memaksakan pengaruh ideologinya. Kaum Kapitalis, Fundamentalis, Sosialis, bahkan Komunis diam-diam juga mulai secara terbuka berani merangsek dan bergerilya membangun komunitasnya masing-masing.

Selama kurang lebih 17  tahun lamanya, sejak reformasi 1998 bangsa Indonesia belum juga menemukan arah yang jelas. Para politisi, akademisi, aktivis pergerakan, dan lain sebagainya terlalu sibuk berkutat dengan komunitasnya masing-masing. Dan kesibukan mereka kembali tersita dengan pertarungan antar berbagai kelompok elemen bangsa untuk berebut pengaruh.

Kembalikan Pancasila

Keberadaan Pancasila sebagai sebentuk fisik lambang nyatanya memang masih ada, namun dalam substansinya sebagai sebuah falsafah yang mengatur pranata nilai-nilai dalam pelaksanaan norma kehidupan berbangsa dan bernegara nyaris tiada. Dalam pergaulan kehidupan kita selama ini nyaris berperilaku bukan seperti bangsa Indonesia yang kita kenal. Diantara kita masing-masing sudah terlepas kendali toleransi, melainkan justru sikap individual dan kelompok lebih ditonjolkan. Jarang kita jumpai dalam pengambilan sebuah keputusan penting, baik pada level masyarakat maupun negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak sudah tidak mengindahkan asas musyawarah untuk mencapai mufakat, dan sebaliknya lebih mengandalkan kekuatan individu dan kelompok dalam bentuk voting/pemilihan suara terbanyak.

Ruh sila-sila yang termaktub dalam sila Pertama hingga kelima telah jauh kita tinggalkan. Asas Ketuhanan yang kita tempatkan pada sila Pertama nyatanya juga kita telah abaikan. Tindakan korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai bentuk kejahatan lainnya yang saat ini jelas merajalela adalah bukti bahwa kita meninggalkan keberadaan Tuhan. Berbagai bentuk kejahatan yang kita lakukan, baik itu dalam kerangka politik, hukum, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya kita anggap biasa saja tanpa adanya rasa berdosa. Begitu juga sila-sila yang lain yang jelas kita hianati tanpa ada rasa penyesalan.

Sebagai bangsa yang mengaku memiliki kepribadian ketimuran, dan yang menghargai budaya bangsa, seharusnya kita memiliki komitmen kuat dalam berbegang teguh terhadap konsensus bersama para pendiri bangsa. Sikap legowo dan kebersamaan para pendiri bangsa untuk melihat bangsa Indonesia dalam presfektif pancasila harusnya difahami sebagai sikap yang luhur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun