[caption caption="Karnaval Berbau Komunis (jatimtimes.com)"][/caption]
Ditengah kemeriahan memperingati 70 Tahun Indonesia Merdeka, kita dikagetkan dengan pemberitaan sebuah acara karnaval pembangunan di Pemekasan Madura. Kekagetan tersebut beralasan, karena pada acara itu ditampilkan sebuah pawai yang tidak biasa, karnaval pembangunan yang sedianya diisi dengan menampilkan hal-hal yang dapat membangkitkan rasa nasionalisme, namun justru menjadi ajang propaganda muculnya kembali komunisme. Dalam acara karnaval pembangunan tersebut menyajikan atribut-atribut berbau PKI (Partai Komunis Indonesia), dari lambang, hingga foto-foto tokoh PKI pada masa lampau.
Sejarah kelam yang hingga kini masih banyak menimbulkan perdebatan, baik oleh para pelaku sejarah, budawan, para aktivis HAM, maupun organisasi-organisasi yang terkait didalamnya, sejatinya selesai ketika pada masa pemerintahan Gus Dur melalui pencabutan TAP MPRS XXV 1966. Pencabutan TAP MPR tersebut adalah sebuah jalan tengah proses rekonsiliasi dan pengembalian hak-hak rakyat Indonesia tidak terkecuali. Namun ternyata, bagi para simpatisan dan kelompok-kelompok simpatisan dan penganut ideologi komunisme, hal itu direduksi sebagai kebebasan yang diberikan negara untuk berideologi secara bebas dan mengembangkannya, tanpa memperhatikan Pancasila. Kenyataan yang kita dapati dari akibat pencabutan Tap Mpr tersebut memang nyatanya banyak dimanfaatkan oleh mereka-mereka yang berkepentingan untuk mendapatkan kebebasannya, tidak terkecuali kaum radikal dan liberal.
Majalah tempo edisi Oktober 2011 juga secara khusus mengulas secara gamblang mengenai sepak terjang seputar gerakan penumpasan PKI dengan judul “Pengakuan Algojo 1965”. Dalam ulasan tempo tersebut, PKI diposisikan sebagai sebuah pihak yang teraniaya. Tidak cukup dengan itu, para aktivis HAM pun menuntut pihak pemerintah untuk menyampaikan permintaan maaf atas nama Negara kepada para korban dan keluarga PKI. Upaya para pengiat HAM untuk mendorong pemerintah melakukan permintaan maaf kepada korban dan aktivis PKI ditolak secara tegas oleh PBNU. Seperti dilansir oleh kompas.com pada 15 Agustus 2012, Wakil Ketua PBNU KH. As’ad Said Ali, menyampaikan bahwa “Kami (PBNU) menolak permintaan maaf SBY (Presiden) kepada korban tragedy 65. Menurut kami, yang harus didorong adalah rekonsiliasi bukan permintaan maaf”. Selain itu menurut As’ad, sebagai bangsa lebih baik jika persitiwa tragedi kemanusiaan 1965 dilupakan. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, lanjutnya, sudah memberikan tempat untuk memulihkan hak keturunan PKI sehingga permintaan maaf pemerintah pada korban tragedi 1965-1966 dipandang tidak perlu.
Peristiwa 65 sejatinya adalah sebuah tragedi anti klimaks dari sebuah pertarungan ideologi. Keberadaan PKI sebagai suatu organisasi politik pada saat itu memang mendapat pengakuan secara legal oleh Pemerintah kala itu. Namun belakangan, ternyata PKI telah melakukan upaya-upaya tidak lazim dalam upayanya merebut kekuasaan, sampai dengan melakukan tindakan-tindakan yang berujung pada gesekan/benturan antara simpatisan dan aktivis PKI dengan pihak-pihak lain termasuk dengan NU dan Muhammadiyah yang berujung banyaknya korban dikedua belah fihak.
Ideologi komunisme sejatinya sama berbahanya dengan ideologi radikalisme dan liberalisme. Dikatakan berbahaya, karena sama-sama bertentangan dengan Pancasila dan mencoba untuk merubah arah cita-cita bangsa. Bangsa Indonesia yang berketuhanan dan menjadikan sila pertama sebagai tumpuan dan landasan moral jiwa berkebangsaan, seharusnya dapat difahami bahwa ideologi yang berseberangan dengan hal itu termasuk komunisme ditolak, meskipun kebebasan dalam berideologi diberikan.
Bagi kita yang berada dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seharusnya bersyukur, karena dalam menjalankan kehidupan, kita diberikan sebuah kebebasan yang tidak terkira. Dari mulai menjalankan kehidupan sehari-hari hingga berideologi. Pun tidak cukup disitu, kebebasan dalam menjalankan kehidupan diatur sedemikian rupa, hingga proses peribadatanpun diberikan jaminan hingga tidak terjadi benturan antara penganut keyakinan satu dengan yang lainnya. Demokrasi ala Indonesia berbeda dengan cara demokrasi di negara penganut liberalisme, penganut faham fundamentalisme, dan komunisme. Kebebasan dalam berdemokrasi di Indonesia adalah kebebasan yang saling menjaga berdasarkan asas kebangsaan. Bukankah kebebasan yang demikian itu adalah rahmat?
Seharusnya, kebebasan dalam alam demokrasi di Indonesia tidak direduksi oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu untuk merubah cara pandang bangsa Indonesia. Kenyataan yang kini terjadi adalah, kebebasan telah disalah artikan sebagai hak untuk bertindak segalanya, menghalalkan segalanya, bahkan oleh sebagian pihak merencanakan untuk menganti Pancasila, dan menganti dengan faham yang mereka anut. Bahkan akibat dari kebebasan itu sendiri, Negara Indonesia dijadikan sebagai medan pertarungan untuk menyebarkan pengaruh antara satu dan lainnya.
Pertarungan antara faham fundamentalisme dan liberalisme yang kini tengah mengancam perpecahan bangsa, nampaknya belum akan reda. Ditambah lagi dengan munculnya faham komunisme yang kini tengah giat muncul dipermukaan menjadikan kita harus waspada atas ancaman-ancaman tersebut.
Komitmen untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 nampaknya penting untuk dilakukan, karena itu adalah cara yang paling efektif untuk mengembalikan jati diri bangsa Indonesia. Pancasila sebagai sebuah komitmen penting telah mampu mempersatukan bangsa ini menjadi sebuah negara kesatuan yang terdiri dari suku bangsa, adat, bahasa dan keragaman-keragaman lainnya yang membentang dari sabang hingga merauke. Nyatanya, para founding fathers bangsa ini telah bersepakat untuk menanggalkan kepentingan dan ego sektoral masing-masing, dan bersepakat menjadikan Pancasila sebagai landasan dan cita-cita bangsa. Bukan kaum fundamentalisme, liberalisme, ataupun komunisme yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun mereka yang memiliki rasa nasionalisme lah yang bersepakat dan berjuang merebut kemerdekaan bangsa.
Dirgahayu Indonesia ke 70, semoga Allah SWT selalu merahmati.