Mohon tunggu...
Lilik Agus Purwanto
Lilik Agus Purwanto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

belajar, belajar, mari terus belajar follow twitter: @aguslilikID web: http://aguslilik.info

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kongres PDIP: Megawati dari Masa ke Masa

9 April 2015   14:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:20 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_408902" align="aligncenter" width="650" caption="Megawati (beritabali.com)"][/caption]

Kongres ke IV PDIP di Sanur Bali hari ini telah dimulai. Dalam pidato pembukaan, sebagai ketua Umum megawati Soekarno Putri menyampaikan berbagai hal mengenai perkembangan dan komitmen dalam mengawal perjalanan bangsa. Petikan penting yang disampaikan oleh Megawati adalah sebagai berikut, “kepemimpinan yang bisa menyatu dengan rakyat, setia pada konstitusi. Pemimpin memang harus menjalankan konstitusi tanpa menghitung akibat. Kerjakan kewajibanmu dengan tidak menghitung akibatnya,".

Megawati yang kita kenal adalah sosok Presiden Perempuan Pertama dan senior di PDIP, dan juga memecahkan rekor sebagai ketua umum terlama sepanjang sejarah perpolitikan nasional. Megawati yang juga putri Proklamator Soekarno ini memang dalam setiap Pidato politiknya selalu mengelorakan semangat pengabdian kepada masyarakat dan bangsa, dan itu adalah idealismenya. Lewat idealisme yang membara itulah megawati mampu menantang setiap halangan yang merintangi, baik PDIP maupun dirinya sendiri dalam menjalankan roda kepartaian.

Partai yang berasaskan nasionalis ini memang selalu mengalami pasang surut dalam perjalanannya. Ketika dihadapkan pada tirani orde baru, PDIP (dulu PDI) posisi PDIP selalu menjadi obyek penderita. Sebagai seorang marhaenis sejati, keberanian Megawati dalam menantang arus jaman pada masa itu memang patut kita acungi jempol. Ditengah pragmatisme dan upaya mencari selamat, Megawati mengambil jarak terhadap penguasa. Kendati demikian tidak membuat PDIP dan Megawati mengalami kelelahan dalam menyelami posisinya sebagai oposisi. Kesabaran dan kegigihan Megawati dalam menjalani hari-hari kelam PDI pada masa itu diganjar dengan buah yang sangat manis. Pada awal reformasi PDIP mendapatkan simpati masyarakat dengan memposisikan partainya menjadi partai pemenang pemilu pada 1999 dengan perolehan suara 35.689.073 (33,74%).

Kendati menjadi pemenang pemilu tidak lantas membuat pendukung partai ini lega. Optimisme pendukung untuk menjadikan Megawati sebagai Presiden RI kala itu ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Pada saat proses pemilihan Presiden Megawati dikalahkan oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan selisih 60 suara, dan harus puas dengan menjadi wakil Presiden kala itu. Gagalnya Megawati menjadi Presiden pasca reformasi disebabkan oleh berbagai hal antara lain adalah publik pada saat itu masih belum bisa menerima jika Indonesia dipimpin oleh seorang Presiden perempuan. Situasi itu membuat Gus Dur seperti mendapatkan durian runtuh. PKB yang pada waktu itu bukanlah partai pemenang pemilu, namun mampu mendudukkan dewan syuro nya menjadi Presiden. Untuk meredam situasi politik yang memanas kala itu, dengan menempatkan Megawati sebagai Wakil Presiden adalah sebuah jalan tengah yang tepat. Selain untuk meredam pendukung Megawati, juga meredam gejolak pihak-pihak yang menolak pemimpin wanita kala itu.

Setelah kurang lebih menjabat sebagai Wakil Presiden selama 1,5 tahun, kembali terjadi situasi yang mengejutkan. Gus Dur yang pada waktu itu menjalankan pemerintahan dengan segenap kontraversinya, dan dengan statement-statement yang memanaskan telinga para elit politik, berujung dengan pemakzulan yang dimotori oleh Amien Rais dan Akbar Tanjung. Setelah Gus Dur berhasil dimakzulkan dari kursi kepresidenannya, secara otomatis Megawati menjadi Presiden penganti Gus Dur dengan menempatkan Hamzah Haz sebagai wakilnya.

Megawati menjadi Presiden selama 4 tahun hingga 2004. Dan hal terobosan yang paling kita ingat sampai saat ini adalah ketika dalam kepemimpinan beliau, bangsa Indonesia tengah dihadapkan sebuah kegelisahan luar biasa tentang maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme. Korupsi yang terjadi sejak orde baru ini bukan semakin surut namun semakin menjadi-jadi. Jika dulu korupsi berada pada lingkaran orang dekat cendana dan birokrasi-birokrasi, akibat adanya perubahan system politik sentralisasi menjadi desentralisasi menciptakan banyak ladang korupsi baru di daerah-daerah. Atas kegelisahan ini, pemerintah dan lembaga legislative bersepakat untuk mendirikan lembaga anti rusuah yakni KPK. Selain KPK pada pada saat Megawati berkuasa juga digulirkan wacana pemilihan presiden secara langsung sebagai wujud implementasi demokrasi. Wacana ini disambut dengan baik oleh semua kalangan, dan dimulailah sejarah baru dalam perpolitikan nasional untuk melakukan pemilihan presiden secara langsung.

Pada saat diselenggarakan pemilu 2004, Megawati kembali maju dan mencalonkan diri menjadi Presiden untuk kedua kali. Dalam pemilihan presiden secara langsung itu, ternyata dewi fortuna tidak memihak kepada Megawati. Pada pilpres 2004 megawati yang didampingi oleh KH. Hasim Muzadi memperoleh suara 28.186.780 atau 26,24 persen, dan menempati posisi nomor 2 kalah oleh pasangan SBY-JK. Karena tidak ada pasangan yang meraih suara lebih dari 50 persen, maka Pilpres digelar kembali untuk putaran yang kedua. Dalam putaran yang kedua pasangan Mega-Hasyim memperoleh suara 44.990.704 atau 39,38 persen, dan dikalahkan oleh pasangan SBY-JK dengan perolehan suara 69.266.350 atau 60,62 persen.

Tidak hanya itu, ketika pemilu 2004 pun ternyata PDIP menelan kekalahan dengan perolehan suara 21.026.629 (18,53%) dengan menduduki peringkat kedua. Kekalahan tersebut serta merta membuat PDIP memposisikan diri menjadi oposisi. Ketegasan Megawati dalam memposisikan diri menjadi oposisi menjadikan PDIP menjadi sebuah partai yang tegas dalam mengkritisi kebijakan pemerintah. Dan tidak hanya itu, jalan oposisi pun ternyata berpengaruh terhadap hubungan Megawati dengan SBY kala itu. Kendati beberapa kali SBY mencoba untuk menawarkan perdamaian, namun oleh Megawati tidak digubris.

Jalan Opisisi

PDIP pasca reformasi, setelah menang dalam pemilu 1999 dan kekalahannya pada pemilu 2004 tercatat dua kali menjadi oposisi yakni selama pemerintahan SBY. Megawati yang terkenal pendiam dank keras dalam pendiriannya, membuat kader-kader PDIP selalu hormat pada dirinya. Laksana sebuah kerajaan Megawati lah ratunya. Setiap statement yang disampaikan oleh Megawati selalu dipatuhi oleh kader-kadernya seperti sabdo pandito ratu. Dalam menjalani posisi sebagai oposisi Megawati dan PDIP selalu menjaga jarak dengan pemerintah. Megawati dalam beberapa pidatonya sering mengungkapkan kritik-kritik pedas kepada pemerintah.

Dalam “diamnya” PDIP yang selama dua periode kepemimpinan SBY menjadi oposisi, menjadikan PDIP semakin matang dalam melakukan transformasi, baik kader-kadernya maupun secara kelembagaan nyata terjadi sebuah perubahan signifikan. Tidak hanya bersuara keras dan lantang, namun PDIP pun ternyata melakukan “laku“ politik dengan mempersiapkan kader-kadernya untuk menjadi pemimpin yang mampu bekerja dengan baik serta dekat dengan rakyat.

Ketika sulitnya mencari sosok pemimpin yang mampu berada ditengah-tengah masyarakat, PDIP menjawab tantangan itu dengan baik. Salah satu jajaran kader terbaiknya adalah Jokowi, Ganjar Pranowo, dan Risma. Ketiga kader tersebut mampu merebut hati rakyatnya dan menjadikan PDIP mampu kembali memperoleh kepercayaan rakyat.

Sebagai bukti kongrit, ketiga perhelatan pemilu 2014 digelar, secara mengejutkan PDIP mampu kembali menempati posisi sebagai partai pemenang pemilu. Tidak hanya itu, PDIP juga mampu menempatkan Jokowi menjadi Presiden ke tujuh. Kendati ketika mengusung Jokowi PDIP tidak sendirian, namun itu merupakan sebuah bukti nyata bagi PDIP mampu melakukan kaderisasi dengan baik, dan jeli dalam memilih kader mana yang pantas untuk dimunculkan sebagai pemimpin nasional.

Perseteruan Dengan SBY

Sejak kekalahan Megawati dalam pilpres 2004 lalu, megawati yang juga terkenal keras itu, hingga kini sukar untuk membuka komunikasi dengan SBY. Baik pada saat SBY menjabat sebagai Presiden, namun ketika suksesi kepemimpinan ini terjadi pun Megawati tidak juga membuka pintu komunikasi dengan SBY kendati hal itu telah beberapa kali dilakukan upaya oleh tim SBY.

Perseteruan antara Megawati dan SBY ini bermula ketika SBY menjabat sebagai menkopolkam pada saat Megawati menjabat sebagai Presiden. Menurut penuturan Prof. Tjipta Lesmana jauh sebelum Pilpres 2004, Presiden Megawati diam-diam melakukan semacam investigasi tentang keinginan dan kesiapan sejumlah pembantunya untuk terjun dalam pesta demokrasi itu. Ketika itu sejumlah menteri sudah santer disebut-sebut bakal mencalonkan diri. Mereka antara lain SBY, Yusril Ihza Mahendra, Hamzah Haz dan Jusuf Kalla. Investigasi ini juga tampaknya juga dilakukan Mega untuk mencari pasangan cawapres. Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang ditanya Megawati mengaku menjawab apa adanya, dia siap dicapreskan PBB. Apakah dirinya akan berpasangan dengan SBY, Yusril menjawab tidak.

Berbeda dengan Yusril, SBY selalu mengelak menjawab secara eksplisit setiap kali ditanya wartawan. Dengan diplomatis, SBY selalu menjawab, ia masih berkonsentrasi pada pelaksaan tugasnya sebagai Menko Polkam. Memasuki 2004 wajah SBY sering tampil di layar televisi, terkait program sosialisasi pemilu 2004. Oleh sebagian kalangan, tayangan itu dinilai kampanye terselubung SBY. Program ini kemudian distop KPU karena banyak protes.

Cerita kemudian berlanjut ketika Maret 2004, Sesmenko Polkam Sudi Silalahi menyatakan, SBY merasa dikucilkan oleh Presiden Megawati dengan tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang PP Kampanye Pejabat Tinggi Negara. Istana menjawab, saat itu SBY ada di Beijing. ‘Perang mulut’ kedua kubu pun dimulai. Taufiq Kiemas menyebut SBY ‘jenderal kok kayak anak kecil’.

Kodisi panas ini berlanjut dari pemilu ke pemilu. Setelah kekalahannya dalam pilpres 2004, tidak menyurutkan nyali Megawati, dan kembali mencalonkan diri menjadi Presiden. Pada pemilu 2009 Megawati didampingi oleh Prabowo Subianto dalam pertarungan pilpres tersebut. Ketika pemilu Presiden digelar SBY kembali memangkan kontestasi pilpres, dan lagi-lagi Megawati menelan kekalahan untuk kali kedua. Dengan kesabaran yang dimilikinya, serta bermunculannya kader-kader PDIP yang menduduki sebagai pemimpin daerah menjadikan PDIP kembali memperoleh kepercayaan masyarakat. Pada pemilu yang digelar pada saat yang lalu 2014, untuk kali pertama setelah kemenangannya pada 1999 PDIP kembali memenangkan Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden. Dengan menempatkan Jokowi sebagai Presiden terasa PDIP dan Megawati telah membalas kekalahannya dan kekecewaannya pada SBY. Kemenangan itu seperti air hujan yang menguyur setelah kemarau panjang.

Menjadi Ketua Umum Terlama

Perjalanan panjang Megawati dalam membesarkan dan mengawal PDIP membuat dirinya tidak tergantikan oleh siapapun. Putri Bung Karno ini dianggap oleh kadernya sebagai penerus sekaligus metamorfosa dari seorang bung karno yang melegenda. Sikap nasionalisme seorang Megawati tidak diragukan lagi. Dari masa ke masa, sikap konsisten megawati yang berjuang untuk membela nasionalisme ini diganjar oleh kadernya sebagai ketua umum terlama sepanjang sejarah perpolitikan nasional. Jika Soehato adalah Presiden terlama selama 32 tahun maka megawati mejadi ketua umum selama 22 tahun.

Sebagai putri Bung Karno, Megawati terkenal sebagai seorang Marhaenis sejati, serasa dirinya tidak lelah dalam berjuang, meski dihimpit dan dalam tekanan penguasa. Dalam pidato yang disampaikan dalam kongres kali ini, megawati menyampaikan bahwa dirinya dalam menapaki karier politiknya di PDIP ini bermula menjadi kader biasa, dank arena konsistensi dan perjuangannya hingga mampu menduduki posisi tertinggi dalam struktural PDIP.

Ketokohan seorang megawati yang dikenal oleh pada kader militannya, menjadikan Megawati selalu menjadi acuan dalam setiap keputusan-keputusan penting dalam politik. Selain itu, sebagai putri Bung Karno, Megawati diyakini sebagai simbolis pemersatu partai, dan tidak ada yang akan berani melakukan hal bodoh dalam melawan Megawati dalam memperebutkan kursi Ketua Umum. Dengan demikian, hingga kini tidak satu pun dari kader PDIP yang berani mencalonkan diri sebagai ketua umum, baik Jokowi sekalipun.

Suara-suara sumbang, yang berkeinginan untuk mengusung Jokowi dalam Kongres kali inipun muncul beberapa hari terakhir sebelum kongres ini dimulai, namun sesegera itupula ditegaskan oleh para elit PDIP bahwa semua kader, baik yang ada di pusat maupun di daerah telah sepakat untuk mengambil jalan musyawarah untuk mufakat dengan mencalonkan kembali Megawati sebagai Ketua Umum.

Sebagai seorang pemimpin, Megawati selalu berujar bahwa hal terpenting adalah melaksanakan seluruh amanah bung karno yakni trisaksti. Isi trisakti adalah berdaulat secara poltik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian dalam berbudaya. Konsep inilah yang kemudian diterjemahkan oleh Jokowi dalam sebuah visi misinya dalam Nawa Cita. Konsepsi ini, menurut Mega, adalah jawaban atas realitas Indonesia yang begitu bergantung dengan bangsa lain. Konsepsi Trisakti inilah yang menjadi kepentingan utama partai. Pekerjaan rumah yang lainnya, menurut Mega, adalah bagaimana mengatur mekanisme kerja antara pemerintah dan partai politik pengusungnya. Hal ini penting, mengingat hubungan keduanya adalah kehendak dan prinsip dalam demokrasi itu sendiri, kata Mega dalam Pidato Kongres IV PDIP (detik.com).

Harapan terbesar bagi kita rakyat Indonesia, semoga konsistensi dalam menjalankan kepemimpinan para tokoh bangsa seperti halnya Megawati, terus menerus akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Semoga sejarah mencatat perjalanan panjang Megawati dan PDIP dalam mengawal demokrasi dan bangsa Indonesia dengan tinta emas. Selamat berkongres  bagi PDIP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun