Pertarungan pilpres 2014 yang banyak disebut oleh banyak orang sebagai “perang Bharatayudha” akhirnya diputuskan pemenangnya adalah pasangan nomor urut 2 Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Dalam perjalanan panjang proses pilpres kali ini memang banyak menguras energy banyak fihak, baik itu kalangan tim kampanye maupun simpatisan dan pendukung masing-masing capres. Tidak bisa di elak-kan bahwa yang menyebut pilpres kali ini bisa dipastikan pertarungan yang paling seru dibanding pilpres-pilpres sebelumnya. Dengan menyisakan dua pasangan saja, pertarungan pilpres menjadi semakin sengit dan membuat masyarakat terpecah menjadi dua dalam memberikan dukungan untuk masing-masing capres idola nya.
Masih terngiang dalam pikiran kita pada saat kampanye yang lalu, bahwa persaingan pilpres ini dianggap bak drama mahabarata dalam perebutan kekuasaan dan pada puncaknya adalah perang bharatayudha. Betapa tidak, semua energy, perhatian, konsentrasi semua pihak tertuju kepada pertarungan ini. Pertarungan kurawa vs pandawa pun dilambangkan dalam pertarungan pilpres ini. Segala daya upaya, baik dana, pemikiran, hingga fitnah yang keji pun dilanyangkan untuk saling menjatuhkan lawan. Masing-masing pihak saling melancarkan serangan, dan disisi lain sibuk menangkis tuduhan. Bahkan tidak sedikit upaya-upaya intimidasi, fitnah, pun dihalalkan dan diklaim sebagai strategi peperangan.
Jika dalam pertempuran Bharatayudha masing-masing fihak sudah diketahui mana pihak pandawa mana pihak kurawa, maka dalam pilpres ini masing-masing mengklaim sebagai pandawa dan masing-masing pun melemparkan tuduhan kepada lawan sebagai kurawa. Bahkan masyarakat yang awalnya sejatinya menjadi penilai (obyek) pun ikut-ikutan memposisikan diri menjadi prajurit dan tidak sedikit pula yang rela merogoh koceknya, putus dalam pertemanan, hingga hari-harinya di isi dengan kebencian-kebencian yang dilancarkan guna memuluskan capres yang didukungnya.
Pertarungan sengit ini nyatanya memang membuat rakyat terbelah dan semakin hari semakin imbang posisi pertarungan. Pihak Jokowi yang pada awalnya memiliki keunggulan elektabilitas lebih tinggi dibanding lawannya “Prabowo” pun pada detik-detik terakhir hampir imbang kekuatannya. Serangan yang sangat massif kedua belah kubu memang sangat berpengaruh terhadap kekuatan lawan. Para tokoh Bangsa yang sejatinya harus menjadi penenggah pun juga terbelah dan menentukan sikapnya dalam mengambil posisi.
Ujung penentu dari perang Bharatayudha ini terjadi kemarin (22/7) dan telah diketok palu oleh KPU bahwa pemenangnya adalah pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Namun pemandangan yang menarik sekaligus mendebarkan manakala situasi last minute penentuan kemenangan, nampaknya kubu nomor 1 pun masih memiliki energi yang besar untuk melakukan perlawanan dengan menarik diri dari proses pilpres.
Adalah Prabowo Subianto sebagai panglima perang laskar koalisi merah putih nampaknya masih tidak puas dan belum mau mengakui kekalahannya, meskipun sudah jelas dan terang benderang berdasarkan hasil real count KPU pilpres itu telah dimenangkan oleh kubu Jokowi-JK. Tak pelak situasi tersebut memancing persepsi oleh banyak kalangan, bahkan dunia internasional pun turut menyaksikan ketidak puasan Prabowo dalam pilpres kali ini.
Banyak pihak menyayangkan sikap yang diambil kubu prabowo yang tidak elegant dan dewasa dalam menerima kekalahan. Bahkan tidak sedikit yang mencibir tindakan Prabowo tersebut jauh dari kenegarawan dan masih kekanak-kanakan. Sebagai seorang negarawan dan tokoh nasional harusnya kubu Prabowo harus siap kalah dan siap menang sebagaimana yang terus menerus mereka dengungkan. Sikap Prabowo ini bak Duryudana yang tidak menerima kemenangan Pandawa.
Harus disadari bahwa pertarungan pilpres ini adalah kontestasi untuk memilih siapa yang paling pantas mengemban tugas rakyat. Sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi seharusnya pihak-pihak yang berlaga dalam pilpres ini memiliki kedewasaan koletif dalam menerima apapun hasilnya, dan juga menempuh jalur-jalur konstitusional yang dihalalkan oleh undang-undang untuk melakukan upaya banding. Bukan lantas melakukan tindakan-tindakan yang justru menimbulkan keresahan serta kegaduhan pada masyarakat.
Akibat aksi walkout kubu Prabowo ini, demokrasi Indonesia yang mengarah kepada kematangan justru tercederai oleh sikap kekanak-kanakan calon pemimpinnya. Tidak bisa menerima kekalahan adalah sikap tidak ksatria dan jauh dari watak dan jati diri bangsa Indonesia.
Dengan demikian kita sekarang tahu mana kurawa dan mana Pandawa. Semoga negeri ini dipimpin oleh orang yang tepat. Berharap satrio piningit tidak segera muncul, karena dengan munculnya satrio piningit sejatinya bangsa ini telah mengalami kebobrokan dalam segala bidang, sehingga dibutuhkan satria yang mampu menyelesaikan persoalan kompleks bangsa ini. Sejatinya bangsa ini masih tumbuh berkembang menuju bangsa yang besar dan disegani oleh bangsa-bangsa yang lain, dan semoga cita-cita ini menjadi nyata demi anak cucu kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H