Mohon tunggu...
Agus Kusdinar
Agus Kusdinar Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Content Creator/Exclusive Writer Narativ On Loc Desa Wisata/SWJ Ambassador 2023

Banyak Menulis tentang Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inilah Simbol Kerukunan Umat Beragama di Desa Cangkuang, Bhinneka Tunggal Ika?

17 November 2022   17:49 Diperbarui: 18 November 2022   21:02 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Makam Mbah Dalem Arief Muhammad (Dokpri)

Indonesia memiliki keindahan yang sangat luar biasa terkadang kita tidak menyadarinya seperti alamnya, budayanya, suku, ras, agaamanya dan yang lainnya, tergambar dari sabang sampai merauke, dan disini saya menemukan hal unik tentang simbol Bhineka Tunggal Ika yang berada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut.

Saksi bisu sebuah Candi peninggalan kerajaan Hindu yang berdampingan dengan sebuah makam penyebar agama islam merupakan simbol kebhinekaan, ketika kita diberbenturkan masalah perbedaan agama. Candi Cangkuang  dan Makam penyebar agama islam Mbah Dalem Arif Muhammad bisa menjadi referensi supya kita tetap saling menghargai antar umat beragama, dengan cara saling mengharagai atas kepercayaannya masing-masing.

Tetapi sebelumnya, kita cari dulu apa hubungannya Candi Cangkuang dengan Makam Mbah Dalem Arief Muhammad posisinya bisa berdampingan yang jarakanya kurang lebih 2 sampai dengan 5 meter yang hanya terhalang pagar besi, ketika Candi itu sudah menjadi Cagar Budaya. Apakah waktu mereka yang berkunjung untuk berziarah tidak merasa terganggu dengan keberadaan Candi juga sebaliknya, ketika umat Hindu sedang beribadah tidak merasa risih dengan keberadaan Makam yang berada disampingnya?.

Sebelumnya kita buka dulu gambarannya tentang apa yang ada di Kampung Pulo dimana Candi Cangkuang juga Makam Penyebar Agama Islam sampai dengan Rumah adat Kampung Pulo juga Desa Wisata, bahkan pulau-pulau kecil disana terdapat makam para pengikut dari Eyang Mbah Dalem Arief Muhammad dalam menyebarkan Agama Islam.

Candi Cangkuang

Candi Cangkuang (Dok. Dewi Cangkuang/Dokpri)
Candi Cangkuang (Dok. Dewi Cangkuang/Dokpri)
Candi Cangkuang adalah sebuah Candi peninggalan kerajaan agama Hindu pada abad ke-8, ditemukan sekitar tahun 1966 oleh tim sejarah Leles Garut dan beropearasi sampai sekarang yang dikelola oleh Disparbud Garut yang merupakan bagian dari Cagar Budaya Banten seperti halnya makam-makam penyebar agama islam yang berada di lokasi Kampung Pulo (Pulau), Pulo Leutik, Pulo Wedus, Pulo Panjang yang dikelilingi oleh Danau (Situ Cangkuang).

Pohon Cangkuang (Dok. Dewi Cangkuang/Dokpri)
Pohon Cangkuang (Dok. Dewi Cangkuang/Dokpri)
Disekitaran Candi Cangkuang terdapat pohon Cangkuang yang ada kaitannya dengan penamaan nama desa juga Candi, meskipun menurut sumber lain ada yang mengatakan bahwa nama Candi Cangkuang diambil dari nama Adipati Cangkuang yang hijrah ke Cirebon untuk memeluk agama islam dan meninggalkan sebuah Candi, tetapi menurut sejarah Desa Cangkuang bahwa penamaan Cangkuang berasal dari pohon yang bernama Cangkuang.

Candi Cangkuang sampai sekarang masih aktif sebagai sarana ibadah umat Hindu di hari-hari besar, meskipun di Cankuang sekarang sudah tidak ada sama sekali yang beragama Hindu, tetapi yang datang untuk beribadah dari luar kota seperti Bali.

Makam Mbah Dalem Arief Muhammad

Foto : Makam Mbah Dalem Arief Muhammad (Dokpri)
Foto : Makam Mbah Dalem Arief Muhammad (Dokpri)
Makam Mbah Dalem Arief Muhammad merupakan makam penyebar agama islam abad ke-17, makam tersebut sering di ziarahi oleh umat islam di berbagai kota di Indonesia sampai sekarang, sebelum Candi Cangkuang ditemukan, bahkan Makam Mbah Dalem Arief Muhammad menurut sebagian sumber merupakan penyebar agama islam pertama di Garut, meskipun sesungguhnya Mbah Dalem Arief Muhammad bukan penduduk aseli, beliau adalah panglima kerajaan Mataram yang diutus untuk memukul mundur pasukan Hindia Belanda di Batavia.

Kampung Pulo merupakan kediaman Mbah Dalem Arief Muhammad setelah beliau tidak berhasil atas tugasnya dan akhirnya menetap disana tidak kembali ke Mataram karena akan menanggung resiko dari sang raja atas ketidakberhasilannya.  Sambil menyebarkan agama islam bersama para pengikutnya , dengan bukti beberapa makam yang berlokasi di Pulau-pulau kecil yang dikelilingi Situ Cangkuang.

Rumah Adat Kampung Pulo

Rumah Adat Kampung Pulo (Dokpri)
Rumah Adat Kampung Pulo (Dokpri)
Kurang lebih 100 meter dari Candi Cangkuang dan Makam Mbah Dalem Arif Muhammad, terdapat Rumah Adat yang merupakan keluarga keturunan dari Mbah Dalem Arief Muhammad yang memiliki simbol sangat mencolok dengan 7 bangunan, terdiri dari 6 Rumah dan 1 Mushola, yang melambangkan 6 rumah merupakan lambang anak perempuan dan 1 Mushola melambangkan dari anak laki-laki Arief Muhammad.

Orang yang menempati Rumah Adat Kampung Pulo merupakan keturunan dari Mbah Dalem Arief Muhammad dengan tetap memegang aturannya seperti jumlah orang yang menempati tidak boleh kurang atau lebih, setiap hari rabu ada pantrangan-pantrangan tertentu, tidak boleh memelihara binatang ternak berkaki 4, tidak boleh menabuh goong besar dan lainnya yang masih dipegang sampai sekarang.

Desa Wisata

Rakit di Desa Wisata Situ Cangkuang (Dokpri)
Rakit di Desa Wisata Situ Cangkuang (Dokpri)
Desa Wisata merupakan peradaban baru di Desa Cangkuang, bernama Desa Wisata Situ Cangkuang dikelola oleh BUMDes Cangkuang yang didirikan pada tahun 2021 tepatnya pada bulan Februari dan diresmikan pada tanggal 9 Mei 2021, yang memanfaatkan tanah carik desa juga situ Cangkuang yang memiliki sarana transpotasi tradisional beruapa rakit, yang menjadi daya tarik wisata baik di Desa Wisata maupun Cagar Budaya.

Desa Wisata identik dengan masyarakat Desa Cangkuang, karena tujuan mendirikan desa wisata guna untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang sekarang semuanya sudah memeluk agama islam, karena kehadiran Mbah Dalem Arief Muhammad warga Cangkuang beberapa abad yang lalu, tetapi adat istiadat masih dipegang oleh warga Desa Cangkuang karena erat kaitannya dengan nenek moyang mereka yang dulunya beragama Hindu sampai masuk Islam.

Nah,jadi apa hubungannya simbol Bhineka Tunggal Ika yang berada di Desa Cangkuang, apakah itu sengaja dibuat Candi disamping makam penyebar agama islam supaya menjadi simbol kerukunan umat beragama pada masa orde baru, supaya Bhinneka Tunggal Ika tetap kuat pada waktu itu guna untuk kepentingan berbangsa dan bernegara?, jawabannya tentu tidak disengaja, karena Candi Cangkuang benar-benar ada bukan hasil rekayasa, dengan bukti makam Mbah Dalem Arief Muhammd menggunak batu-batu dari Candi yang sudah ada berabad-abad yang lalu.

Saya pernah mewawancarai bidang kepurbakalaan Cagar Budaya Candi Cangkuang beliau mengatakan bahwa tidak ada kaitannya antara keberadaan Candi Cangkuang dengan Makam Mbah Dalem Arief Muhammad (penyebar agama islam). Jawaban itu sangat logis sekali jika disimpulkan karena jarak antara Candi Cangkuang dengan Makam Mbah Dalem Arief Muhammad bedanya kurang lebih 9 abad, jika dihitung tahun bisa dihitung berapa keturunan yang memisahkan anatara jarak Candi dengan Makam?

Jadi kenapa suka dikait-kaitkan dengan simbol Bhineka Tunggal Ika?, jadi jawabannya sederhana saja, apa susahnya karena ini hanya gambaran yang sangat penting untuk persatuan dan kesatuan yang sangat butuh belakangan ini, yang kadang karena agama, suku, ras menimbulkan perselisihan, dan Candi Cngkuang bisa menjadi gambaran indahnya hidup bersama antar umat beragama.

Apakah sengaja dijadikan bagian dari daya tarik wisata, sehingga dikait-kaitkan?, jika iya sah-sah saja antar Candi Cangkuang dan Makam Mbah Dalem Arief Muhammad sebagai daya tarik wisata yang tidak ada bandingannya di negeri ini dengan keunikannya. Mulai dari adanya Candi, Makam sampai Rumah Adat Kampung Pulo juga masyarakat yang ada di Desa Wisata dengan situ Cangkuaangnya, karena menurut pengalaman saya sering mengikuti pelatihan-pelatihan pariwisata itu dibolehkan guna untuk menarik para wisatawan.

Sejarah tidak mungkin 100 persen dijamin kebenaranya, tetapi setidaknya adanya sumber yang bisa kita gunakan sebagai acuan dengan bukti-bukti peninggalan juga saksi hidup, karena sejarah ditulis oleh manusia biasa yang memiliki kelebihan juga kekurangan. Jika ada yang kuarang mungkin pada masa itu kemampuan penelitiannya sampai disana yang akan dilanjutkan oleh generasi selanjutnya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan zaman dulu dengan segala keterbatasannya.

Ada istilah sejarah ditulis oleh sang pemenang atau yang berkuasa pada masanya, pendapat itu banyak benarnya, tetapi untuk zaman sekarang hal itu harus kita rubah dengan diniatkan dari hati kita, tulislah sejarah dengan sebenar-benarnya demi kemajuan untuk generasi selanjutnya, karena masa depan lahir adanya masa lalu yang merupakan sarana untuk kemajuan bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun