Mohon tunggu...
Agus Kristianto
Agus Kristianto Mohon Tunggu... Freelancer - peminat ekonomi

lahir dari dan dibesarkan oleh sepasang guru

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Asa Omnibus Law Perpajakan bagi Daerah

11 Februari 2020   10:17 Diperbarui: 11 Februari 2020   10:40 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Omnibus Law.(Shutterstock) via Kompas.com

Saat ini, ramai diberitakan Pemerintah sedang mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan. Muatan RUU yang menyita perhatian di antaranya adalah kewenangan intervensi tarif Pajak Daerah dan evaluasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) oleh Pemerintah. 

Pengaturan mengenai evaluasi Raperda selama ini telah berjalan dan dilaksanakan dengan baik. Evaluasi dilakukan untuk memastikan bahwa Peraturan Daerah (Perda) mengenai pajak daerah tidak bertentangan dengan undang-undang.

Apabila intervensi diartikan sebagai pemangkasan kewenangan, hal tersebut dapat dianggap sebagai kekhawatiran yang berlebihan. Karena sebaliknya, kebijakan intervensi yang nantinya akan diterapkan bertujuan untuk mengatasi kemandegan inovasi fasilitas perpajakan daerah dalam mendorong investasi di daerah. 

Pada pemerintah pusat, fasilitas perpajakan dalam rangka mendorong investasi yang dimuat pada RUU, sebagian telah diimplementasikan. Tetapi hal tersebut masih dianggap kurang implementatif, bahkan bisa dikatakan jalan di tempat. Hal ini dikarenakan pada tataran pelaksanaann tidak diimbangi dan didukung dengan kebijakan di tingkat daerah.

Pada era pembangunan infrastruktur yang cukup massif oleh pemerintah melalui BUMN dan juga pihak swasta lainnya, dibutuhkan dana yang sangat besar. Pembangunan infrastruktur tidak terlepas dari unsur tanah dan bangunan. 

Dua-duanya merupakan objek pajak daerah. Dari kedua unsur tersebut sangat diharapkan mendapat dukungan fasilitas perpajakan guna mendorong investasi di daerah.

Mengharapkan daerah memberi fasilitas perpajakan dengan proses cepat tidaklah mudah. Pada pemerintah daerah, pungutan Pajak Daerah diatur dengan perda yang mengacu pada Undang-Undang 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Apabila Daerah sudah menetapkan Perda terkait Pajak Daerah, maka pemerintah pusat tidak dapat melakukan intervensi sama sekali, termasuk pengaturan tarif.

Untuk mengatur perubahan pajak daerah memerlukan suatu upaya dan proses yang luar biasa, walaupun hanya untuk perubahan satu aspek saja, seperti tarif pajak misalnya. 

Dengan jumlah daerah sebanyak 542 daerah, dapat dibayangkan jika perubahan pengaturan yang hanya satu itu pun membutuhkan effort yang bukan main tentunya. Belum lagi itu akan menambah perda yang saat ini sudah berjibun jumlahnya. Ini akan menambah pusing kepala pelaku usaha.

Memangkas "Biaya Kertas"
Di kalangan pelaku usaha properti, pengeluaran yang berkaitan dengan jual-beli properti dikenal dengan "biaya kertas" yang akan menggerus keuntungan. Bagi para pelaku perorangan atau skala kecil, biaya kertas ini biasanya disiasati dengan berbagai cara. 

Para pelaku usaha properti lebih memilih skema kontrak untuk menjual guna menekan ongkos dibanding jika mereka harus sampai proses Akta Jual Beli/AJB. Persoalan muncul pada skala besar dan perlu kepastian hukum seperti saat akan dilaksanakannya sekuritisasi properti dalam bentuk Dana Investasi Real Estat/DIRE.

DIRE merupakan instrumen keuangan untuk mengubah aset properti menjadi dana yang likuid. Aset properti pada umumnya bernilai besar sehingga sangat sulit jika harus dijual pada satu pihak saja. 

Alternatifnya adalah menjual kepada banyak pihak dalam bentuk sekuritas melalui perusahaan yang ditunjuk. Pembeli individual tidak berniat dan juga tidak dapat menguasai properti secara fisik (kepemilikan hanya sebatas hak). Mereka berharap dari imbal hasil atas pengelolaan properti yang akan dibagikan nantinya atau gain, jika kepemilikan hak dijual lagi.

Dengan model DIRE, para calon investor tentu keberatan jika harus menanggung beban pajak sebagaimana yang berlaku pada perolehan hak atas properti pada umumnya, juga penjual. 

Atas transaksi properti pada umumnya, berdasarkan regulasi yang ada pada saat ini, penjual akan dikenakan Pajak Penghasilan/PPh final sebesar 2,5 persen dan pembeli dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan/BPHTB sebesar 5 persen. Untuk properti DIRE, dikenakan PPh final 0,5 persen, sedangkan untuk BPHTB yang menjadi kewenangan daerah belum terdapat pengaturan lebih lanjut.

Melalui omnibus law, Pemerintah akan dapat melakukan intervensi menurunkan tarif BPHTB, misalnya menjadi 0,5 persen sebagaimana besaran tarif PPh. Bahkan bisa lebih rendah lagi, kalau tidak membebaskan mengingat tujuan utama DIRE bukan kepemilikan/penguasaan tanah dan bangunan secara individual. 

Intervensi model ini bahkan dapat mendorong penerimaan perpajakan daerah. Dengan diturunkannya tarif BPHTB, model DIRE menjadi diminati oleh para investor karena biaya kertas menjadi sangat rendah. Dan dampaknya, penerimaan pajak yang tadinya tidak terjadi, menjadi terealisasikan dengan DIRE.

Dampak lain yang menjadi target utama pemerintah adalah (investasi) pembangunan berkelanjutan, termasuk pembangunan infrastruktur. DIRE akan menjadi sumber dana bagi para pengembang. Misalnya PT. Waskita dengan spesialisasi sebagai pembangun jalan tol. Saat jalan tol selesai dibangun dan beroperasi, untuk membangun jalan tol berikutnya perusahaan akan menjual jalan tol yang sudah beroperasi. 

Jika penjualan dilakukan model bisnis ke bisnis pada umumnya, akan sulit bagi perusahaan mendapatkan investor karena butuh dana yang sangat besar. Dengan skema DIRE tentunya akan menarik banyak investor sehingga akan lebih cepat mendatangkan dana segar. 

Karena investor yang terlibat bisa mencapai puluhan, ratusan, bahkan ribuan, seseorang dengan modal kecil pun dapat berpartisipasi sebagaimana layaknya di pasar saham secara individual. Beban BPHTB 5 persen sangat berpengaruh untuk mengambil keputusan bagi para investor jika baru pada tahap awal berinvestasi saja sudah harus menanggung biaya sebesar itu.

Bagi PT. Waksita, sesuai dengan penugasaannya, dana yang diperoleh nantinya akan digunakan untuk melanjutkan pembangunan di tempat lain. Hal yang sama tentunya dapat dilakukan oleh perusahaan lain, termasuk yang bergerak di bidang pengembangan perumahan dan kawasan industri.

Penyederhanaan Proses Kebijakan

Faktor lain yang menjadi pertimbangan dalam Omnibus Law terkait Perpajakan Daerah adalah penyederhanaan kebijakan. Penyusunan Perda melibatkan masyarakat, DPRD dan Kepala Derah dengan jajarannya serta melewati banyak tahapan. 

Ditambah benturan kepentingan masing-masing pihak dapat menambah rumitnya pembuatan suatu Perda. Penyelesaian suatu Perda dalam waktu kurang satu tahun merupakan suatu prestasi. Penurunan tarif pajak untuk objek tertentu pun dapat mengalami nasib demikian.

Intervensi juga dalam rangka penyeragaman tarif antar daerah untuk kepentingan yang sama. Sebagai contoh, apabila skema DIRE jalan tol akan dilaksanakan, setiap daerah yang dilalui jalan tol yang akan dijadikan skema DIRE harus membuat Perda untuk menurunkan tarif BPHTB khusus properti DIRE. 

Jika suatu ruas jalan tol yang akan disekuritisasi melewati 7 kabupaten/kota, maka ke 7 daerah tersebut harus menyusun Perda masing-masing. Dapat dibayangkan panjangnya proses yang akan dialksanakan, waktu yang tersita dan biaya yang tidak kecil. 

Belum lagi kemungkinan terjadinya perbedaan tarif satu daerah dengan yang lainnya yang akan berdampak pada tidak akan terealisasinya DIRE. Dengan intervensi akan dapat mempersingkat proses kebijakan, menjamin kepastian hukum, dan memangkas biaya legislasi

Dalam menerapkan suatu kebijakan, Pemerintah tidak akan gegabah seperti dikhawatirkan banyak orang. Seperti peribahasa menepuk air di dulang, terpecik muka sendiri. Setiap kebijakan yang diambil yang berdampak terhadap penurunan penerimaan pajak oleh daerah yang pada akhirnya menurunkan kemampuan fiskal daerah, akan menjadi tanggungan Pemerintah melalui dana transfer.

Selain itu, upaya intervensi yang oleh sementara pihak dipandang untuk memangkas kewenangan daerah merupakan kekhawartiran yang berlebihan. Pada tahun 2019, penerimaan pajak pemerintah pusat adalah Rp 1.545,3 triliun; 86,5 persen dari target Rp 1.786,4 triliun. 

Berkaca pada capaian tersebut, terlalu riskan jika intervensi yang dilakukan akan mengurangi penerimaan, dalam hal ini penerimaan perpajakan daerah. Intervensi yang dikhawatirkan oleh banyak pihak alih-alih malah dapat menarik investasi baru. Dan investasi yang datang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan pajak di daerah.

Alih-alih memangkas kewenangan, omnibus law membawa asa bagi daerah dalam bidang investasi yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan perpajakan sebagai efek lanjutan dari pertumbuhan ekonomi -tujuan utama rancangan undang-undang ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun