Presiden Erdogan memecat gubernur bank sentral
Beberapa hari menjelang pengumuman Bank Indonesia atas suku bunga acuan bulan Juni yang lalu, media santer memberitakan harapan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang yakin bunga akan diturunkan. Akan tetapi yang terjadi BI tetap memutuskan bunga tetap bertengger di posisi 6 persen.
Dari yang tertulis, Menkeu tidak secara langsung mengatakan kepada awak media. Hal itu terbaca dari kutipan-kutipan yang ditulis oleh para pewarta. Pewarta mengintepretasikan, selain dari pilihan kata yang digunakan, kemungkinan besar dari mimik saat wawancara.
Dengan tidak adanya penjelasan lanjutan dari Menkeu atau jajarannya, berita yang beredar dapat disimpulkan bahwa keinginan sang Menteri memang demikian. Hasil reformasi tahun 1999 menempatkan BI independen, Â pemerintah tidak mungkin melakukan campur tangan. Dan sangat tidak mungkin isyarat itu tidak ditangkap oleh para petinggi BI. Tetapi sang bidadari belum mau turun ke bumi, baru melirik sambil membayangkan panasnya kawah Candradimuka sektor riil. Kenyamanan surga sektor moneter difasilitasi angin pantai sepoi-sepoi di siang hari, angin sepoi hasil kipasan Rp258 trilyun setoran pajak.
Kenyamanan itu dimulai triwulan ke dua 2018 ketika suku bunga mulai merambat naik dari posisi 4,25% hingga bertengger tak tergoyahkan di posisi sekarang ini. Tingkat bunga atau repo  bank sentral kita 6% termasuk tertinggi di kawasan. India yang sebelumnya 6,50%, tahun ini saja sudah diturunkan tiga kali menjadi 5,75%. Malaysia dan Filipina pada posisi 3%, Muangthai berani menyamai Australia pada 1,5%; Cina 1,75%. Jepang malah menerapkan bunga negatif.
Masih di Asia, tetapi jauh di barat, bank sentral Turki merupakan pemegang rekor pada 24%, naik dari 17% September 2018. Bunga tinggi dengan alasan mengendalikan inflasi yang mencapai 20% pada 2018. Dianggap tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah karena menghambat roda perekonomian, akhirnya Presiden Erdogan mengeluarkan dekrit --mengingat kedudukan yang independen dari pemerintah- memecat gubernur bank sentral (bbc.com, 6 Juli 2019).
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan dikritik habis-habisan karena penambahan utang untuk membiayai insfrastruktur. Dari segi jumlah utang sesungguhnya masih aman, tetapi biayanya tinggi.
Ongkos utang yang tinggi tidak terlepas dari tingkat bunga yang tinggi setiap kali pemerintah menerbitkan obligasi. Entah kenapa, obligasi baru disambut pasar jika pemerintah memberi kupon paling tidak 2% di atas bunga bank sentral, alias di kisaran 8 persen. Dampaknya, biaya utang menggerus lebih dari 17% pendapatan perpajakan. Tahun 2018, Rp258 trilyun lebih harus direlakan untuk membayar biaya utang.
Pemerintah yang sedang gencar-gencarnya menggenjot pembangunan infrastruktur sangat terbatas pilihannya. Penerbitan Surat Utang Negara adalah pilihan utama, kalau tidak bisa dikatakan satu-satunya, dengan biaya yang mencekik.
Kinerja Ekonomi
Sejak pindah kantor ke Istana Merdeka akhir Oktober 2014, paling tidak ada tiga prestasi Presiden Jokowi di bidang makro yang patut diacungi jempol. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi ditengah kondisi ekonomi dunia yang stagnan. Selama empat tahun terakhir perumbuhan ekonomi mampu dipertahankan pada kisaran lebih dari 5 persen. Berikutnya berupa kemampuan menahan laju inflasi pada kisaran 3% selama empat tahun berturut-turut.