Lebaran haji lalu, saat kami sekeluarga sholat Idul adha di pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) kabut asap benar-benar masih pekat. di tayangan RCTI yang memberitakan sholat Ied itu siang harinya tampak sekali bahwa jembatan Ampera di latar belakang jamaah ied, hanya samar-samar di balik kabut. lalu pemerintah ( provinsi dan kota) sibuk dengan usaha menjinakkan kabut liar itu.
setelah hampir sebulan (atau lebih bahkan) memerangi asap dengan cara memadamkan titik api dan berusaha menurunkan hujan buatan. Juga berdoa dan sholat istisqo, akhirnya turun juga hujan. cuma sayang hujan (buatan?) ini masih demikian malu-malu. intensitasnya terlalu ringan dan masih sporadis. di beberapa tempat asap berkurang, tetapi di tempat lain masih tetap tebal bahkan kian mengganggu.
Hari sumpah pemuda kemarin misalnya, di tempat yang sama, yaitu pelataran BKB, upacara peringatan Soempah Pemoeda itu diikuti ratusan siswa yang samar dibalik kabut asap. celakanya, mereka tampaknya mulai bosan mengenakan masker. tersorot jelas di layar, sebagian siswa tersebut terpapar asap tanpa masker.
Sampai hari ini, tanggal tiga bulan November, pagi tadi saya seperti biasa menembus dini hari menuju tempat kerja. wolalaaa..asap luar biasa mengganggunya. Perkiraan saya, jarak pandang cuma lima meteran pagi tadi. Efek dari hal itu jelas sekali , mata pedih bingits (pake istilah alay sebagai penguat rasa) dan batuk-batuk sporadis mulai muncul.
palembang lautan asap ternyata terus berlanjut sampai ke Prabumulih. Bayangkan horor ini, sepanjang jalur 100-an KM itu saya berada di bis tua di tengah seliwerannya truk batu bara dan pengangkut kayu gelondongan dengan jarak pandang supir terbatas. Mau apa lagi, demi keselamatan, saya dan beberapa teman terpaksa datang terlambat dan merelakan tidak ikut upacara bendera senin ini.
revolusi mental, meminjam istilah sekarang, memang seharusnya dilakukan. Mana petugas BPBD kabupaten /kota atau provinsi ? demikian tanya saya dalam hati ketika pulang sore tadi. Wilayah gambut sepanjang lajur KM 32 indralaya penuh dengan api dan asap. siapa warga yang tega dan pendek sangat akalnya melakukan pembakaran ketika bahkan bayi dalam rumah pun terpapar asap ? Mental pejabat/petugas maupun mental warga/rakyat sama-sama perlu di revolusi. Atau terpaksa kita mengundang Pak Jokowi untuk -bukan memadamkan api dan menghilangkan kabut asap, yang sudah kita sepakati sebagai 'bencana'- tapi mengajarkan apa itu revolusi mental. Gimana Kakanda Alex Noerdin ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H