Guru, apalagi yang PNS, itu enak. Gajinya stabil, ada pensiunan apalagi yang sudah dapat sertifikasi. Saya sering dengar teman mengatakan demikian, pun kakek saya. Kemapanan (jangan berharap terlalu tinggi) semacam itu jadi incaran banyak orang (termasuk saya).
Mudah sekali diucapkan. Namun Cahyo, teman saya yang satunya, berujar secara filsafati, lalu apa arti guru bagimu? apa itu pendidikan? apa kamu rela melihat rakyat membayarmu sedangkan kau enak-enak aja!. Buru-buru saya stop dia sebelum terpeleset ke pertanyaan tentang kebenaran. Pusing.
Seorang yang tak menyadari situasi pendidikan, dan dengan demikian non guru, non pengamat pendidikan, non ahli pendidikan dan non-non yang lain diluar pendidikan (termasuk saya) sah-sah saja dan berhak berpendapat tentang pendidikan. Yang agak menyindir dan menyudutkan agaknya masih bisa diterima dengan sabar juga kritis. Tetapi apa mereka itu tahu kondisi pengajaran saat di kelas; banyaknya murid dan tuntutan agar murid paham (jadi "setiap" anak), dan juga apa mereka tahu kalau 24 jam sehari itu agaknya kurang.
Tetapi ketika apa-apa tentang pendidikan (atau pembelajaran) pada akhirnya guru yang salah, biarpun tidak semua berujar demikian, rasanya tiada adil. Temannya teman saya, yang guru IPA (kalau tidak salah ia guru Fisika) mengeluh tentang banyaknya materi yang perlu disampaikan. Lebih tepatnya mengeluh agar semua materi selama setahun dapat diterima, dipahami dan diyakini sebagai menarik oleh murid-murid. Tentu saja pendekatan yang digunakan adalah saintifik, ciri K.13.
Bukan masalah banyaknya materi, demikian lanjutnya, tetapi yang utama adalah ketiadaan kebebasan untuk menentukan materi mana yang lebih prioritas karena batasan-batasan yang ada pada kurikulum. Lalu saya berpikir, bukannya dia hanya perlu mengajar dengan menarik.
Rupanya tidak semudah omong yang bau abab itu. Pendekatan saintifik, kata temannya teman saya itu, tidak cukup hanya menuruti langkah 5M, juga apakah murid mengikuti perkembangan materi. Artinya berpikir level tinggi dengan bimbingan guru tentu saja dan bukan otomatis, ujug-ujug.
Mengikuti apa yang seharusnya bagaimana mengajar sains yang tepat, yakni sebisa mungkin first hand experience, hanya akan terbentur dengan waktu. Kalau demikian halnya berarti ia sulit untuk maksimal dong?
Beberapa waktu yang lalu saya menyalahkan guru karena pendidikan di Indonesia ketinggalan. Sekarang saya menyalahkan saya karena diri ini yang ternyata ketinggalan. Jadi saya hanya mendengarkan teman dan temannya teman saya itu berdiskusi.
Lalu bagaimana dengan guru-guru mata pelajaran yang lain ya? Saya penasaran.
Dua tahun yang lalu saya baca sedikit tentang laporan Om Pasi Sahlberg. Hasilnya mengejutkan. Memang saya setuju pendidikan di  Finlandia itu top number one in the world. Selain tenaga pendidik yang minimal S2 , mereka juga mengampu murid yang lebih sedikit. Saya tidak mengatakan bahwa jumlah murid yang sedikit dan tenaga pendidik yang lulusan S2 serta merta membuat pendidikan di suatu negara menjadi hebat. Tentunya ada hal lain, seperti sistem pendidikannya (termasuk kurikulum).
Buat guru, tetap berjuang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H