"Lalu untuk apa deskripsi tentang nilai sikap di rapot versi K.13?"
Demikian celetukan seorang Kepala Bidang Pendidikan Menengah di suatu daerah. Saya sempat heran mengapa beliau yang notabene mengurusi masalah pendidikan menengah terkesan mempertanyakan manfaat kolom "deskripsi" di dalam rapot versi K.13 tersebut. Bukankah sudah jelas bahwa "deskripsi" menerjemahkan penilaian (dengan huruf, misal "A", "AB", dst) lewat keterangan mengenai sejauh mana ke-positif-an sikap siswa?
Karena beliau terlanjur meledakkan rasa ingin tahu saya, percakapan mulai berlangsung seru dan kadang eyel-eyelan.
Secara ideal, begitu ujarnya, penilaian sikap dilakukan dengan observasi saat pembelajaran. Ditambah dengan jurnal yang berfungsi menampung aspek lain, yang tidak sempat muncul saat obervasi di lapangan. Konsekuensinya, selain melakukan pembelajaran dengan berbagai macam metode, Â inovasi-inovasi pembelajaran lain serta menyampaikan(?) materi pelajaran, guru juga ketambahan tugas mengamati sikap siswa-siswanya.
Tugas ini berat dan sinting "gila".
Saya nyaris tidak bisa membayangkan betapa harus multi-tasking si guru itu. Seandainya yang ideal berjalan normal, tentu tak masalah. Akan tetapi, bagaimanapun, guru itu manusia yang processing otaknya terbatas dan punya tingkat kejenuhan terbatas pula. Saya katakan demikian, karena selain mengajar ia perlu mengamati dan "curi-curi pandang" tiap siswanya.
Berarti bisa jadi jelas bahwa dengan tanggung jawab menyampaikan(?) mapel kepada sekelompok siswa (30-an tiap kelas), juga tuntutan agar materi tersebut mampu membangkitkan daya kritisnya, guru hendaknya: punya jiwa "pengabdian", kesediaan berkorban waktu, tenaga, dan biaya, serta kesabaran (dan mungkin segi lain).
Saya menangkap kata "pengabdian" secara enteng saja, mungkin mereka yang bukan pendidik berpikiran demikian. Lalu melempar kata itu dan melekat pada guru. Saya pikir tindakan saya tidak adil, karena pengabdian macam apa yang dilakukan guru, saya belum bisa merasakan hingga hati "nyeri". Dengan demikian empati saya masih kurang.
Percakapan terus berlanjut.
Penilaian sikap rupanya masih dibagi lagi menjadi beberapa aspek. Sehingga setiap siswa memiliki beberapa aspek sikap yang perlu diamati guru dan dicatat perkembangannya. Dalam satu kelas ada sekitar 30 anak, dan masih kurang beruntung lagi bagi guru yang mengajar lebih dari satu kelas.
Akankah penilaian itu valid dan reliabel? Saya kira tidak. Bukan karena guru tidak mumpuni, tetapi sejak awal limit manusia pendidik itu sudah diterjang. Mengamati lalu menilai sejumlah besar anak adalah tugas berat dan "gila". Dan karena itu adalah tuntutan kurikulum, yang adalah bagian dari sistem pendidikan, maka guru harus melakukannya. Gilakah guru? Tidak!
Gagasan brilian yang diikuti oleh tindakan setengah matang tak bisa menjadi hasil yang brilian. Ide dasar K.13 yang ingin menilai tiga aspek siswa tentu brilian, karena penilaian tidak jatuh sepenuhnya pada kognitif saja. Keputusan itu bisa menghindari penilaian yang monolitis. Akan tetapi tindakannya cenderung setengah matang karena daya dukung sedikit atau malah tidak ada.
Jumlah siswa yang banyak, jika dibandingkan dengan kinerja guru tentang pembelajaran dan penilaian sikap, tidaklah mendukung guru melakukan tindakan yang matang. Atau seandainya setuju bahwa jumlah siswa yang begitu banyak (ditambah jika guru mengampu lebih dari satu kelas), jika tidak ada tenaga observer (entah dari unsur mana) yang bertugas sebagai pengamat, tentu sulit menghasilkan tindakan matang.
Apakah akan lebih baik jika penilaian sikap ditiadakan? Atau beruntungkah guru yang masih berada di rumah KTSP? Tapi saya hanya berbicara masalah "sikap" saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H