Saat ini, berita vonis bebas Ronald Tannur yang merupakan tersangkan penganiayaan dan pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini cukup menghebohkan publik. Pasalnya, keputusan tersebut dianggap oleh netizen sebagai sebuah putusan yang tidak adil. Ronalad dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) 12 tahun penjara akibat perbuatannya, akan tetapi hakim memberikan vonis bebas karena kurangnya bukti.
 Padahal, JPU sudah menunjukan rekaman CCTV yang memerlihatkan Dini dilindas oleh mobil Ronald dan bukti chat yang menunjukan adanya kekerasan dan ancaman oleh tersangka terhadap kekasihnya itu.
 Hal tersebut tentu membuat publik marah dan kecewa terhadap keputusan hakim, tak sedikit netizen yang mengungkapkan makian melalui media sosial mereka akibat putusan hakim yang dianggap 'tidak adil' itu.
Terlepas dari persoalan tersebut, kasus kekerasan terhadap perempuan baik fisik atau pun verbal memang marak terjadi di Indonesia. Komnas Perempuan mencatat ada 281.111 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2023.Â
Dari data tersebut, dapat dilihat banyak sekali perempuan di Indonesia yang megalami kekerasan oleh pasangannya. Pada tahun 2022 misalnya, kasus kekerasan terhadap perempuan juga dialami oleh pedangdut kondang Lesty, pelakunya sudah pasti pasangannya, Rizky Billar.Â
Tak hanya itu, Lesty juga sempat melaporkan pasangannya tersebut ke polisi. Akan tetapi, Lesty kemudian mencabut kembali laporannya karena bagi dirinya laporan tersebut hanya sebuah peringatan untuk suaminya.  Sontak, keputusan Lesty tersebut membuat publik heran "kok bisa Lesty masih mau bertahan dengan orang yang jelas-jelas sudah berbuat kasar terhadap dirinya?". Nah, hal ini mungkin juga terjadi kepada banyak pasangan di Indonesia.
Perempuan cenderung sulit lepas atau bahkan mungkin masih mau mempertahankan hubungan yang bisa dikatakan toxic relationship -- istilah untuk hubungan yang tidak sehat atau kasar terhadap salah satu pihak. Lalu kenapa perempuan malah bertahan dengan hubungan yang toxic itu? Ada banyak faktor yang menyebabkan perempuan lebih memilih bertahan dengan pasangannya yang toxic.Â
Entah itu ada ancaman dari kekasihnya atau masih berharap kekasihnya bisa berubah jadi lebih baik. Atau, lebih ekstrim lagi mungkin banyak perempuan di Indonesia 'sudah' Â terkena stockeholm syndrome.Â
Ada sebuah jokes dari salah satu Tiktoker di Indonesia "Hubungan yang awet tuh biasanya si cewenya sering disakitin sama cowonya entah kasar atau tukang selingkuh, tapi kalau cowonya yang disakiti, cewenya malah ninggalin dengan alasan ngerasa bersalah" Â mungkin itu hanya sebuah candaan, tapi sedikit-banyak ada benarnya juga. Dari sudut pandang saya, ada pelbagai faktor yang menjelaskan mengapa perempuan bertahan dalam hubungan semacam ini meskipun dampak negatifnya sangat nyata.
Pertama, ketergantungan emosional memainkan peran besar. Banyak perempuan merasa takut kehilangan pasangan mereka karena mereka telah menginvestasikan banyak waktu dan emosi. Ketergantungan ini bisa berakar dari rendahnya harga diri atau pengalaman masa lalu yang membuat mereka merasa tidak layak mendapatkan hubungan yang lebih sehat.Â
Teori Ketergantungan Emosional (Emotional Dependency Theory) menjelaskan bahwa individu yang memiliki rasa percaya diri rendah cenderung bergantung pada orang lain untuk mendapatkan validasi dan rasa aman. Dalam hubungan toxic, pelaku seringkali memanfaatkan ketergantungan ini untuk mengontrol dan memanipulasi pasangan mereka.
Kedua, pengaruh trauma masa lalu tidak bisa diabaikan. Perempuan yang pernah mengalami kekerasan atau pengabaian di masa kecil sering kali memiliki kecenderungan untuk mencari validasi dari pasangan mereka. Mereka mungkin merasa bahwa hubungan toxic tersebut adalah sesuatu yang normal karena itulah yang mereka kenal sejak kecil.Â
Albet Bandura dalam teori belajar sosial (social learn theory) menjelaskan bahwa perilaku manusia dipelajari melalui observasi dan imitasi.Â
Jika seorang perempuan tumbuh dalam lingkungan di mana kekerasan atau perilaku manipulatif adalah hal yang umum, mereka mungkin menganggapnya sebagai perilaku normal dan sulit mengenali bahwa mereka berada dalam hubungan toxic.
Ketiga, tekanan sosial dan budaya juga berkontribusi. Dalam beberapa budaya, perempuan diajarkan untuk mempertahankan hubungan apapun yang terjadi. Mereka seringkali diberi tahu bahwa perceraian atau perpisahan adalah aib, sehingga mereka merasa terjebak dalam hubungan yang merugikan demi menjaga citra sosial.
Terakhir, manipulasi psikologis dari pasangan juga sangat berpengaruh. Pelaku dalam hubungan toxic sering kali menggunakan teknik manipulasi seperti gaslighting --bentuk manipulasi psikologis yang dilakukan seseorang untuk membuat korbannya meragukan ingatan, persepsi, atau kewarasannya sendiri--- di mana mereka membuat korban meragukan kenyataan dan penilaian mereka sendiri. Ini membuat perempuan merasa bingung dan tidak percaya diri untuk mengambil keputusan keluar dari hubungan tersebut.Â
Mengakhiri hubungan, meskipun toxic, berarti memasuki wilayah yang tidak dikenal. Ketakutan akan kesendirian dan ketidakpastian sering kali membuat perempuan bertahan karena mereka merasa lebih aman dalam status quo meskipun itu merugikan mereka.
Dari semua faktor di atas, jelas bahwa bertahan dalam hubungan toxic adalah hasil dari kombinasi kompleks dari pengalaman masa lalu, ketakutan emosional, dan tekanan sosial. Untuk membantu perempuan keluar dari situasi ini, dukungan psikologis yang berkelanjutan dan edukasi tentang hubungan sehat sangat diperlukan.Â
Hanya dengan begitu mereka dapat membangun kembali harga diri mereka dan menemukan keberanian untuk mencari kebahagiaan yang sejati di luar hubungan toxic.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H