Pemilihan umum (Pemilu) 2024 akan menjadi momen penting bagi Indonesia. Pemilu ini akan menjadi pemilu pertama di mana generasi milenial dan generasi Z (gen-z) menjadi pemilih dominan. Generasi milenial dan gen-z adalah generasi yang tumbuh dan berkembang di era globalisasi dan digitalisasi. Mereka memiliki gaya hidup dan pemikiran yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Salah satu perbedaan yang paling mencolok antara generasi milenial dan gen-z dengan generasi sebelumnya adalah gaya kepemimpinan. Generasi milenial dan gen-z lebih menyukai pemimpin yang demokratis, transparan, dan inklusif. Mereka juga lebih menyukai pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas, serta mampu menyelesaikan masalah secara kreatif dan inovatif.
Namun, sayangnya, masih banyak calon anggota legislatif (caleg) milenial yang menggunakan gaya kampanye yang colonial --gaya kampanye generasi boomers atau sepuh.Â
Gaya kampanye kolonial adalah gaya kampanye yang menggunakan pendekatan top-down, di mana caleg berperan sebagai pemimpin yang harus diikuti oleh masyarakat. Gaya kampanye ini biasanya menggunakan pendekatan birokratis, di mana caleg lebih menekankan pada program kerja dan janji-janji politiknya.
Gaya kampanye kolonial ini tidak cocok dengan gaya kepemimpinan yang diinginkan oleh generasi milenial dan gen-z. Gaya kampanye ini akan membuat caleg milenial terlihat tidak demokratis, tidak transparan, dan tidak inklusif.Â
Selain itu, gaya kampanye ini juga akan membuat caleg milenial terlihat tidak memiliki visi dan misi yang jelas, serta tidak mampu menyelesaikan masalah secara kreatif dan inovatif.
Tak hanya itu, bentuk kampanye yang ditampilkan oleh caleg milenial juga cenderung tidak ada bedanya dengan caleg kolonial. Pasang baliho gede, bikin turnamen pingpong, kumpul sama emak-emak majlis ta'lim merupakan bentuk kampanye gaya lama yang saat ini justru dilakukan juga oleh caleg milenial.Â
Perbedaan mereka dengan caleg lama hanya pasang iklan berbayar di media social, itu saja. Sejauh ini belum terlihat kampanye unik dan kreatif yang menjadi ciri khas dari generasi ini.
Slogan anak muda, milenial, gen-z seolah hanya jadi tulisan di spanduk tapi tidak sejalan dengan semangat anak muda yang kreatif dan inovatif. Apabila dilihat di sepanjang jalan, seluruh spanduk menampilkan desain atau gaya yang sama, termasuk caleg-caleg milenial. Hal tersebut justru membuat saya khawatir, apabila terpilih di parlemen gaya mereka juga tidak jauh beda dengan anggota legislatif lama.
Gaya kampanye lama, seperti pemasangan baliho, idealnya dihindari oleh caleg-caleg milenial. Selain menggangu pemandangan, pemasangan baliho di sembarang tempat juga merusak lingkungan.Â
Tak hanya itu, baliho bekas kampanya pada akhirnya hanya menjadi sampah yang sulit terurai. Hal tersebut tentu berbeda dengan semangat gen-z yang concern terhadap kelestarian lingkungan.