Mohon tunggu...
Agus Indy.
Agus Indy. Mohon Tunggu... Dosen - Antropolog Blajaran

Saya seorang pendongeng yang suka menulis cerita-cerita etnografi yang ringan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

asu

16 Desember 2024   21:58 Diperbarui: 16 Desember 2024   21:58 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ASU

Eh, ini aku bukan misuh lho! Iya, ini aku mau cerita tentang asu beneran. Nek misuh kan mesthinya S nya banyak?! Iya to?!

Ini tentang asu yang banyak dipelihara oleh para Londo. Ing ngatasnya asu kok ya punya patrap, sikap yang jelas. Sangat berbeda dengan asu-asu kacang di Jawa yang over caper itu, asu londo itu kok le 'sopan'. Berulang kali aku itu berjalan berpapasan dengan asu yang dingon ndarane. Jangankan kok njegog, mereka itu ya nyisih dan hanya sekedar melihat thok, tanpa bersikap aneh. Kadang ada juga sih yang agaknya rada kuper, jarang melihat wajah eksotis priyayi Jawa njuk mandheg sedhela dan menyempatkan diri melihatku. Habis itu ya sudah, jalan lagi.

Padahal yang namanya asu yang dipelihara landa itu macem-macem lho. Mulai dari yang sekepel hingga anjing segedhe anak sapi. Dulu, ada om Dick yang punya anjing yang selalu membuatku gilo. Namanya si Jago. Gak ngerti dia ras apa.  Lha sak anak sapi beneran je, ha nek duduk sama-sama di bangku gitu lebih tinggi dia je daripada aku.

Dia itu tidak pernah menunjukkan sikap galak atau apa,malah cenderung cuek. Kalo pas lewat di dekatku aku pasti nangkring berdiri di kursi dan diketawai orang-orang. Dan si Jago itu malah ndelokne aku, dengan tatapan gumun, 'njuk ngapa wong iki?'

 Aku njuk mbayangke nek dhekne nubruk dan ndilat-ndilat. Sak friendly-friendly-ne lha dheknne ki asu je. Wekekekeke

Sebagai antropoloh, aku njuk mikir, kenapa kok asu di sini begitu kopen, 'terdidik', dan tidak norak? Mungkin itu ada hubungannya dengan kesepian atau malah kepercayaan. Jadi si Asu itu menjadi teman baru pengganti untuk manusia. Diperlakukan kayak manusia. Dikasih nama, didandani dijak ke salon, disandhangi. Diterke jalan-jalan. Bahkan malam-malam yang sangat dinginpun, bersalju, aku pernah berulang kali melihat orang dengan sabar menunggu asunya mengekplorasi lapangan. Aku ingat om Dick yang sering memutus obrolan untuk pulang dan mengajak jalan si Jago.

Kalau konteksnya Jawa, ada mahasiswaku yang menulis tentang kultur memelihara kucing, yang kira-kira kesimpulannya seperti itu.

Barangkali besok akan ada cerita berbeda yang sedang ditulis oleh mahasiswaku tentang kultur memelihara sapi. Padha-padha hewannya, sama-sama dikasih nama, diupacarani, dsb, tetapi barangkali ceritanya akan berbeda. Gak weruh, wong sekarang lagi penelitian bocahe?!

Kembali ke asu, kayaknya asu itu juga cerminan ndarane. Nek ndarane itu kelas atas ngono, rumangsaku, rumangsaku lho ya, asune kok ya semakin patrap. Jadi nek ada asu njegag-njegog ketika ada orang lewat itu ya kira-kira ndarane itu orang yang curigaan.

Tapi kepiyea wae, tetep wae kuwi mau ya gur asu.

Nijmegen, 16 Desember 2024

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun