Mohon tunggu...
Agus Hilman
Agus Hilman Mohon Tunggu... -

@_hilman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merancang Fikih Bumi

12 Maret 2013   05:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:57 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Agus Hilman

(Kandidat Ketua Umum PB HMI 2013-2015)

AGAMA tidak hanya diperuntukkan bagi manusia, tetapi juga untuk keberlangsungan rotasi kehidupan dimuka bumi, itulah esensi rahmatanlil ‘âlamîn. Yakni memberi rahmat dan manfaat bagi seluruh alam yang mengitari galaksi ini. Tetapi, semua berbanding terbalik. Agama seolah hanya untuk manusia, tidak untuk bumi. Dus, kini bumi menjadi second class dan objek eksploitasi manusia karena agama (monoteisme) menempatkan manusia sebagai wakil Tuhan dimuka bumi (khalifah fi al-ardhi).

Manusia pun menjadi pusat dari segala subjek yang ada di bumi. Tetapi benarkah agama tidak memberikan ruang untuk memperhatikan bumi?

Kemajuan teknologi, sebagai simbol perkembangan pesat akal manusia, cenderung menjadikan manusia semakin liar terhadap alam. Pada era mitos, alam manusia ditempatkan pada posisi agung dan sakral. Rasio berada dibawah bayang-bayang supremasi irasionalitas, alam menjadi titik sentrum, alam menjadi Tuhan bagi manusia yang menyeramkan sekaligus dipuja, disebut Rudolf Otto sebagai sang mysterium fascinan et tremendum. Manusia tidak berani memperlakukan alam semena-mena karena ia adalah entitas yang harus dipuja.

Akan tetapi, pada era logos (modernisme), supremasi alam diruntuhkan oleh rasionalitas Cartesian, cogito ergosum manusia menjadi ada ketika ia mampu menaklukkan kekuatan irasionalitas alam. Tunduk terhadap alam berarati takluk terhadap irasionalitas. Membiarkan diri takluk terhadap irasionalitas berarti manusia belum menjadi being (baca: ada) yang sesungguhnya. Logos dan rasionalitas menjadi citra yang niscaya melekat dalam diri manusia untuk menggada yang diejawantahkan dengan cara menundukkan alam semaunya dan semena-mena.

Hegemoni nalar Cartesian tersebut menenggelamkan manusia pada peminggiran alam dan segala sesuatu yang diluar kelogisan. Alam harus tunduk pada segala kreasi akal manusia berupa pembangunan dan kemajuan. Arus kencang logos atau rasionalitas telah membunuh jiwa alam dan menjadikannya an sich objek yang dapat dieksploitasi secara destruktif. Demi membangun segala fasilitas yang menunjang kehidupan manusia, seperti perkantoran, pertokoan, mall, dan transportasi, menjaga alam dan keberlangsungan ekosistemnya menjadi marginal.

Segala sendi kehidupan kita saat ini bergerak demikian. Bahkan, dalam ranah agama pun, hegemoni logos begitu besar dengan menundukkan agama di bawah ketiak rasio (fide squerens intellectum).Dus, agama pun tidak mampu menggerakkan keliaran logos manusia atas alam.Disinilah memantapkan kembali peran agama dalam menyeimbangakan akal manusia perlu ditancapkan agar mampu memberikan kontribusi dalam menyeimbangkan alam dan manusia, tentu dalam memberikan ruang agama berbicara, meletakkan agama dihadapan akal secara profesional terlebih dahulu harus dilakukan.

Jika tidak, upaya tersebut akan sia-sia karena, bagaimanapun juga, sisa-sisa hegemoni logos dan nalar modernisme pada masyarakat dunia tidak hanya meminggirkan alam, tetapi juga telah menendang untuk tidak mengatakan membuang agama menjadi persoalan yang tidak penting, antara rasio dan irasionalitas harus bergerak seimbang.

Karena itu, mengembangkan nilai-nilai berbasis lingkungan mendesak dilakukan, agama memandang manusia dan alam tidak berjajar secara hierarkis, melainkan berposisi sejajar. Terutusnya manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifah fi al-ardhi) bukan lantas ia berhak sewenang-wenang atas alam dan melihat jagat raya lebih inferior darinya yang menjadi dalil kita mengeksploitasi alam. Sebagai wakil Tuhan, manusia harus memperlakukan alam dengan penuh kasih sayang. Dengan kasih sayang itulah, alam dan manusia bisa berjalan harmonis. Alam tidak lagi diperlakukan sebagai objek rasio manusia secara liar.

Agama menginformasikan bahwa jauh sebelum manusia tercipta, alam dan jagat raya ini sudah ada terlebih dahulu. Manusia ditugaskan menjaga dan melestarikan alam sekalipun didalam diri manusia terdapat potensi perusak (baca: fujur) yang sewaktu-waktu akan membahayakan keberlangsungan bumi (baca: ekosistem).Berkali-kali Tuhan menjelaskan bahwa manusia terbuat dari tanah yang berarti antara manusia dan alam merupakan satu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain (QS Al-Ra‘d [13]: 04 dan QS Al-Nâzi‘ât [79]: 30-33). Dengan demikian, rasio dan logos memerankan dirinya dalam kerangka menjaga keberlangsungan alam semesta menjadi bagian dari diri manusia.

Manusia tidak boleh mengedepankan rasionya untuk mengeksplorasi alam hanya untuk kepentingannya, melainkan mengedepankan spesies lainnya (QS Al-Rahmân [55]:10). Memahami alam dan manusia sebagai entitas yang integral akan menggiring pada keseimbangan bahwa alam juga memilikibangunan rasionalitasnya masing-masing. Sehingga, tak pelak, bencana pun datang bertubi-tubi karena rasio manusia sering melabrak rasionalitas dan moralitas alam itu sendiri.

Sebab itu, dalam memberikan ruang agama memecah problem ekologis, perlu adanya rekayasa teologi yang aplikatif dalam pemikiran agama itu sendiri. Merancang fikih bumi atau lingkungan adalah salah satu solusi aplikatif tersebut. Memang sangat disayangkan, pembicaraan lingkungan dalam khazanah fikih klasik tidak mendapatkan porsi yang besar. Alih-alih memberikan porsi, fikih yang kita kembangkan dan jalankan justru bergerak stagnan tanpa ada pengembangan dan proses ijtihad yang disesuaikan dengan problem kontemporer. Disinilah cendekiawan Muslim dan lembaga-lembaga keagamaan memainkan peranan penting dalam menjawab krisis ekologi saat ini.

Fikih lingkungan akan mengatakan dengan tegas bahwa orang yang mengabaikan, menyia-nyiakan, dan merusak tatanan ekosistem diatas bumi dapat dikatakan sebagai orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya (QS Al-Mâ’idah [5]: 33). Karena tindakannya dikategorikan memerangi Allah, orang yang merusak alam dapat disebut sebagai kafir yang harus dihukum.

Hal tersebut bukan lantas alam tidak dieksplorasi, melainkan diletakkan secara seimbang demi manfaat seluruh spesies bumi. Dengan demikian, rasio tidak menjadi penguasa yang liar, menebang untuk pembangunan dan kemajuan kota dan peradaban, tetapi menjadi pengelola alam secara arif dan bijaksana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun