Pendahuluan
Apa Jadinya Jika Pramoedya Ananta Toer Hidup di Era Media Sosial? Apakah suaranya tetap lantang, atau justru tenggelam dalam hiruk-pikuk algoritma? Pertanyaan saya ini mencoba menggambarkan seberapa relevannya pemikiran Pramoedya, terutama di zaman digital ini.Â
Pada peringatan 100 tahun kelahirannya, mari kita mengenang sosok yang merupakan seorang penulis dan pejuang kebenaran dan keadilan ini.
Jejak Karya dan Perjuangan Pramoedya
Pramoedya Ananta Toer, lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah, adalah salah satu sastrawan terbesar Indonesia. Karya-karyanya, seperti Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), menjadi mahakarya yang menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penindasan.
Ia menulis dengan keberanian luar biasa. Ditangkap dan diasingkan tanpa peradilan karena dianggap terlibat pemberontakan, Pramoedya tetap bersuara.Â
Tulisannya mengangkat tema ketidakadilan sosial, kolonialisme, dan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter. Seperti yang pernah ia katakan, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian." Dan memang, tulisannya tetap hidup, bahkan setelah ia tiada.
Pramoedya di Era Media Sosial
Pemikiran Pramoedya tentang nasionalisme, keadilan sosial, dan kebebasan berbicara masih sangat relevan. Namun, bagaimana jika ia hidup di era media sosial? Akankah ia menulis di blog? Menggunakan Twitter/X untuk menyuarakan gagasannya? Atau mungkin menghadapi sensor digital seperti yang ia alami di dunia nyata?
Di era ketika informasi menyebar cepat, tetapi kebenaran sering dikubur oleh kepentingan politik dan ekonomi, suara Pramoedya bisa menjadi cahaya di tengah kabut disinformasi.Â
Dalam Bumi Manusia, Minke berjuang melawan ketidakadilan kolonial. Kini, banyak anak muda masih menghadapi ketimpangan sosial dan ekonomi.Â
Jika Pramoedya ada di era ini, mungkin ia akan mengkritisi algoritma yang lebih mengutamakan sensasi dibanding substansi, atau menyerukan perlawanan terhadap budaya cancel culture yang sering kali menghambat kebebasan berpikir.
Tantangan dan Warisan Pramoedya
Pramoedya menghadapi penjara, sensor, dan isolasi. Tapi justru dalam kesulitan itulah ia menghasilkan karya yang menginspirasi.Â
Jika ia hidup di era media sosial, mungkin tantangannya berbeda. Serangan warganet, misinformasi, atau penghapusan akun oleh platform tertentu. Namun semangatnya pasti tetap sama: menulis demi kebenaran.
Bagi generasi muda, Pramoedya adalah simbol keteguhan hati. Ia mengajarkan bahwa "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." Pesan ini sangat relevan di era ketika informasi bisa dimanipulasi, dan kebenaran sering kali dikorbankan demi kepentingan tertentu.
Menjaga Api Literasi Pramoedya
100 tahun Pramoedya Ananta Toer adalah pengingat bahwa setiap kata yang kita tulis bisa menjadi api yang menerangi kegelapan. Mari terus membaca, menulis, dan memperjuangkan kebenaran seperti yang diajarkan oleh sang maestro.
Seperti katanya dalam Jejak Langkah, "Kau tak bisa memenangkan perlawanan tanpa organisasi." Dan organisasi itu dimulai dari kesadaran kita akan pentingnya literasi, keadilan, dan kebebasan berpikir.Â
Di era media sosial, perjuangan itu bisa dimulai dengan satu tweet, satu artikel, atau satu buku yang tetap setia pada kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI