Jika Pramoedya ada di era ini, mungkin ia akan mengkritisi algoritma yang lebih mengutamakan sensasi dibanding substansi, atau menyerukan perlawanan terhadap budaya cancel culture yang sering kali menghambat kebebasan berpikir.
Tantangan dan Warisan Pramoedya
Pramoedya menghadapi penjara, sensor, dan isolasi. Tapi justru dalam kesulitan itulah ia menghasilkan karya yang menginspirasi.Â
Jika ia hidup di era media sosial, mungkin tantangannya berbeda. Serangan warganet, misinformasi, atau penghapusan akun oleh platform tertentu. Namun semangatnya pasti tetap sama: menulis demi kebenaran.
Bagi generasi muda, Pramoedya adalah simbol keteguhan hati. Ia mengajarkan bahwa "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." Pesan ini sangat relevan di era ketika informasi bisa dimanipulasi, dan kebenaran sering kali dikorbankan demi kepentingan tertentu.
Menjaga Api Literasi Pramoedya
100 tahun Pramoedya Ananta Toer adalah pengingat bahwa setiap kata yang kita tulis bisa menjadi api yang menerangi kegelapan. Mari terus membaca, menulis, dan memperjuangkan kebenaran seperti yang diajarkan oleh sang maestro.
Seperti katanya dalam Jejak Langkah, "Kau tak bisa memenangkan perlawanan tanpa organisasi." Dan organisasi itu dimulai dari kesadaran kita akan pentingnya literasi, keadilan, dan kebebasan berpikir.Â
Di era media sosial, perjuangan itu bisa dimulai dengan satu tweet, satu artikel, atau satu buku yang tetap setia pada kebenaran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI