Pendahuluan
Ketika Shin Tae yong (STY) pertama kali diumumkan sebagai pelatih tim nasional sepak bola Indonesia, harapan tinggi seakan membanjiri jagad persepakbolaan tanah air. Sebagai pelatih dengan reputasi internasional, masyarakat berharap ia mampu membawa Garuda terbang lebih tinggi di kancah sepak bola Asia bahkan dunia.Â
Tetapi seperti halnya perjalanan seorang tokoh besar, jalan yang ia tempuh tidaklah mulus. Kritik, ejekan, bahkan cemoohan mewarnai perjalanan STY selama menukangi timnas Indonesia.Â
Ironisnya ketika ia tidak lagi memegang jabatan tersebut, gelombang rindu dan apresiasi justru menggema dari para penggemar sepak bola tanah air. Fenomena ini menarik untuk kita renungkan: Mengapa kita sering kali baru menghargai sesuatu setelah kehilangan?
Awal Perjalanan dan Ekspektasi Tinggi
Shin Tae yong datang dengan rekam jejak yang luar biasa. Ia pernah memimpin timnas Korea Selatan di Piala Dunia 2018, bahkan berhasil menumbangkan juara bertahan Jerman di fase grup. Luar biasa tim Panser kesayangan saya harus menelan kekalahan 2-0 saat itu... :)
Dengan nama besar tersebut, ekspektasi masyarakat Indonesia melambung tinggi. Publik tidak hanya menginginkan kemenangan, tetapi juga perubahan signifikan dalam mentalitas dan permainan tim nasional.
Sayangnya, ekspektasi besar sering kali menjadi pedang bermata dua. Ketika hasil tidak sesuai harapan, kritik pun datang tanpa ampun.Â
Kekalahan, permainan yang dianggap kurang atraktif, hingga kebijakan pemilihan pemain sering kali menjadi bahan pembicaraan negatif di media sosial dan forum-forum olahraga. Sebagian masyarakat lupa bahwa perubahan besar memerlukan waktu, strategi, dan dukungan penuh.
Momen Pahit dan Kritik yang Tidak Seimbang
Ketika timnas mengalami kekalahan di ajang-ajang penting, STY menjadi sasaran empuk kritik. Bahkan beberapa pihak menyalahkan gaya kepelatihannya yang dianggap tidak cocok dengan karakter pemain Indonesia.Â