Pendahuluan
Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sering kali dianggap sebagai pekerjaan yang menjanjikan stabilitas dan kepastian hukum. Namun, kenyataannya tidak selalu seindah harapan.Â
Banyak ASN terutama yang lulus melalui jalur seleksi kategori 2 (K2), menghadapi tantangan birokrasi yang rumit termasuk masalah pengakuan ijazah dan penyesuaian jabatan. Salah satu contoh konkret adalah permasalahan yang dialami seorang ASN yang telah mengabdi sejak tahun 1999 namun hingga kini belum mendapatkan solusi terkait status kepegawaian dan pengakuan ijazahnya.
Kronologi Masalah
Pada tahun 1999, Pak Abdul (bukan nama sebenarnya) mulai bekerja sebagai tenaga honorer. Tahun 2010 dia dinyatakan lulus tes seleksi CPNS sebagai guru melalui seleksi K2 dengan menggunakan ijazah S1. Namun, saat menerima Surat Keputusan (SK) pengangkatan, pendidikan terakhirnya hanya diakui setara SMA dengan golongan II/a.Â
Alangkah terkejut dan bingungnya Pak Abdul, bagaimana tidak dia mengajar siswa setingkat SLTA dengan ijazah terakhir SMA. Pada SK yang diterimanya dengan jelas menyatakan pendidikan terakhirnya SMA dengan jabatan Guru SMU/SMA, bagaimana ini bisa terjadi?
Ketika alih kelola pegawai SMA dilakukan dari pemerintah Kota/Kabupaten ke Pemprov., ASN tersebut malah ditempatkan sebagai pelaksana Tata Usaha (TU).
Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk pengajuan klarifikasi ke Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi, Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan aplikasi pengajuan online.Â
Namun, tidak ada tanggapan yang memadai. Hal ini memaksa ASN tersebut untuk meninggalkan profesinya sebagai guru dan menyesuaikan diri dengan posisi baru yang tidak sesuai dengan harapan awal.
Rumitnya Birokrasi dan Pengaruh Regulasi
1. Masalah Pengakuan Ijazah
Ijazah dari perguruan tinggi di luar daerah domisili sering kali menimbulkan keraguan, terutama jika jaraknya jauh dan diduga bertentangan dengan aturan DIKTI tentang kehadiran dalam program studi reguler. Hal ini menjadi kendala utama dalam kasus ini, meskipun tidak semua ASN dengan kondisi serupa mengalami masalah yang sama.
2. Seleksi Kategori 2 vs. Jalur Reguler
Jalur seleksi kategori 2 memberikan prioritas pada pengalaman dan masa pengabdian. Namun perbedaan mekanisme seleksi dengan jalur reguler sering kali menciptakan ketimpangan, terutama dalam hal verifikasi ijazah dan dokumen pendukung lainnya.
3. Kurangnya Tanggapan dari Instansi Terkait
Ketika pengaduan resmi tidak mendapat tanggapan, ini menunjukkan adanya potensi maladministrasi. Hal ini dapat disebabkan oleh sistem yang kurang responsif atau kurangnya koordinasi antara instansi pusat dan daerah.
Hadirnya Posko Pengaduan Wapres: Harapan Baru?
Posko Pengaduan Wakil Presiden yang baru diluncurkan memberikan harapan bagi ASN dan masyarakat untuk menyampaikan keluhan terkait permasalahan birokrasi. Melalui nomor WhatsApp 081117042207, masyarakat dapat mengajukan pengaduan secara langsung dengan harapan ada solusi konkret dari pemerintah pusat.
ASN ini berharap bahwa posko pengaduan ini mampu:
1. Menyediakan platform yang responsif untuk menindaklanjuti keluhan yang selama ini diabaikan.
2. Menjembatani koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk mempercepat penyelesaian masalah.
3. Memberikan kejelasan atas status hukum dan administrasi kepegawaian, termasuk pengakuan ijazah dan penyesuaian jabatan.
Penutup
Rumitnya birokrasi yang dialami ASN ini mencerminkan tantangan sistemik yang dihadapi banyak pegawai negeri di Indonesia. Dengan hadirnya Posko Pengaduan Wapres, adalah langkah positif yang menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani masalah masyarakat.Â
Dengan dukungan masyarakat dan komitmen pemerintah, diharapkan kasus-kasus seperti ini dapat terselesaikan secara adil dan transparan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H