Atas saran seorang ahli terapi, relaksasi pernapasan 15 menit sebelum tidur dengan pokus pada tarikan nafas yang ditarik dan dikeluarkan secara perlahan membantu mengurangi rasa cemas saya secara bertahap dan berkelanjutan.
3. Menghadapi Ketakutan Secara Bertahap: Saya belajar bahwa menghindari situasi yang membuat saya cemas hanya memperparah kondisi tersebut. Maka, saya mencoba menghadapi ketakutan saya secara bertahap.Â
Mulai dari lingkungan yang lebih kecil dengan sedikit orang, saya secara perlahan-lahan membiasakan diri untuk berada di sekitar orang banyak tanpa merasa cemas yang berlebihan. Ini disebut desensitisasi bertahap, dan itu membantu saya mengurangi kecemasan secara perlahan-lahan.
4. Dukungan dari Orang Terdekat: Meskipun kecemasan membuat saya ingin mengisolasi diri, saya belajar bahwa dukungan dari orang-orang terdekat adalah salah satu kunci penting untuk menghadapinya. Berterus terang pada Pasangan dan Anak untuk memahami kondisi saya adalah sumber kekuatan besar saat kecemasan menyerang. Mereka membantu saya merasa bahwa saya tidak sendirian dalam menghadapi kondisi ini.
5. Terapi Kognitif Perilaku (CBT): Saya juga mengikuti Terapi Kognitif Perilaku (CBT) untuk membantu mengatasi kecemasan sosial saya. CBT membantu saya mengidentifikasi pola pikir negatif yang memperkuat rasa takut akan penilaian orang lain, dan membantu saya melatih cara menghadapi situasi sosial tanpa menghindar atau melarikan diri.
Kesimpulan: Belajar Berdamai dengan Kecemasan
Kecemasan sosial adalah kondisi yang berat dan bisa melelahkan secara emosional, tetapi bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi. Saya belajar bahwa mencari tempat sunyi saat kecemasan muncul memang memberikan rasa aman sementara, tetapi solusi jangka panjang terletak pada kemampuan menghadapi ketakutan saya secara bertahap dan dengan dukungan yang tepat.
Jika kita atau seseorang yang kita kenal menghadapi kecemasan sosial atau gangguan kecemasan lainnya, ketahuilah bahwa kita tidak sendirian. Dukungan dari orang-orang terdekat, serta bantuan profesional dari terapis atau psikiater, bisa sangat membantu. Kecemasan bukanlah tanda kelemahan, itu adalah respons alami tubuh yang bisa kita pelajari untuk kelola.
Catatan untuk Pemirsa: Saya bukan ahli kesehatan jiwa, psikolog, apalagi psikiater, tulisan ini adalah sebuah refleksi pribadi dari pengalaman saya dengan gangguan kecemasan. Setiap orang mungkin memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi kecemasan, dan penting untuk mendapatkan dukungan yang tepat sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Jangan ragu untuk mencari bantuan profesional jika diperlukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H