Uang picis adalah koin kecil berbentuk bulat dengan lubang persegi di tengahnya. Koin ini terbuat dari logam seperti tembaga atau perunggu, pertama kali digunakan di Nusantara melalui perdagangan dengan Cina.
Dalam bahasa Jawa dan Melayu, istilah "picis" dan "ketip" merujuk pada koin kecil dengan nilai nominal rendah yang digunakan untuk transaksi sehari-hari.
Sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara hingga era kolonial Belanda, koin picis menjadi alat tukar yang umum digunakan. Penggunaannya meluas di berbagai daerah termasuk Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
Uang koin ini masih populer hingga akhir abad ke-19 sampai akhirnya pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem moneter modern dengan mata uang gulden.
Dari Picisan Menjadi Berharga
Nilai Sejarah
Uang picis erat kaitannya dengan sejarah ekonomi dan budaya Nusantara, koin ini mencerminkan hubungan dagang yang erat antara Nusantara dan Cina serta adaptasi lokal terhadap mata uang asing. Penemuan koin picis menguak kehidupan masyarakat masa lalu, termasuk pola perdagangan dan distribusi kekayaan.
Nilai Antik dan Koleksi
Kini uang picis tidak lagi dianggap sebagai benda "picisan" yang bermutu rendah, sebaliknya koin ini memiliki nilai antik yang tinggi di kalangan kolektor numismatik.
Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai koin picis meliputi:
- Kondisi Koin: Koin yang terawat dengan baik dengan karakter yang masih terbaca jelas memiliki nilai lebih tinggi.
- Kelangkaan: Semakin langka jenis koin picis semakin tinggi nilai jualnya di pasar kolektor.
- Era dan Dinasti: Koin dari era atau dinasti tertentu yang memiliki signifikansi sejarah tinggi biasanya lebih dihargai.
- Minat Kolektor: Pasar numismatik memiliki permintaan yang terus meningkat untuk koin-koin antik termasuk picis.
Penemuan koin picis kini bisa menjadi hal yang menguntungkan, mengidentifikasi koin secara tepat melalui bantuan ahli numismatik atau referensi online dapat mengungkapkan nilai sebenarnya.