Ini sepertinya pelajaran dasar, tiap kata punya makna, makna ini secara umum terbagi jadi denotasi dan konotasi. Saya kutip langsung dari KBBI dengan gubahan seperlunya agar lebih ringkas.
Makna denotasi itu makna kata yang lugas, dan berhubungan dengan wujud di luar bahasa tersebut (makna nyata). Ketika saya bilang "merah", makna denotasinya ya warna; warna yang dipakai bendera Indonesia di bagian atas; warna darah.
Sementara konotasi, adalah makna yang timbul dari gabungan denotasi dengan pengalaman pribadi penutur dan pendengar (makna kiasan). Jika bicara denotasi mengarah ke artian fisik, maka konotasi lebih memihak rasa. Ketika saya bilang "merah", menurut konotasinya, itu akan menjadi arti "berani" atau "semangat".
Dalam kehidupan bermasyarakat, kedua pemaknaan ini sama-sama digunakan. Orang tak banyak berdebat soal makna denotasi, karena di mana-mana menunjukkan arti yang sama. Justru yang sering menimbulkan kesalahpahaman ya makna konotasi. Karena penafsiran suatu kata bisa berbeda di tiap zaman, tempat, juga kondisi.Â
Misal saja, perempuan dan wanita itu pada dasarnya mengarah ke satu arti, menyangkut jenis kelamin manusia. Tapi penggunaan kata perempuan hari ini disangka lebih halus dibanding wanita. Dulu mungkin malah sebaliknya. Dan bisa jadi di kemudian masa, berubah kembali.
Kemudian contoh lagi, kata anjing. Di Jakarta, wah, kata ini negatif betul. Orang-orang biasa mengumpat dengan kata anjing. Namun, mari melancong ke Jawa Tengah atau Jawa Timur. Anjing tak biasa dijadikan bahan umpatan. Ia dikembalikan ke makna aslinya, hewan dengan empat kaki.
Lalu, apakah kata anjing bila diucapkan di Jakarta selalu memberi kesan negatif? Tidak. Pada suatu kondisi, barulah anjing bermakna konotasi hina, buruk, najis, dll. Kondisi ini bisa saya misalkan sebagai berikut, dalam sebuah pertikaian antara dua orang, atau diucapkan dengan nada tinggi dan penuh penekanan. ANJING! Di sini, anjing baru akan memancing emosi pendengar.
Komunikasi manusia, bukanlah hal sesederhana mengatakan apa yang didengar, atau menyatakan apa yang ingin dikatakan. Komunikasi baru terjalin paling sedikit bila ada dua pelaku. Dalam hubungan dengan individu di luar diri kita sendiri, manusia berakal tidak boleh menjadi penutur yang egois. Seperti berpikiran bahwa kebenaran mutlak hanya ada pada denotasi kata. Lalu mengabaikan makna konotasi, yang justru menyentuh titik rasa pendengar.
Berbicara tentang konotasi, berarti memandang sesuatu secara menyeluruh. Kita berpikir bukan hanya tentang bahasa, tapi juga pendengar, waktu kita berucap, tempat di mana kita bertutur, kondisi masyarakat, juga pengalaman dan psikologis lawan bicara. Maka, misalnya kata kafir, meskipun berarti denotasi orang yang tidak percaya pada Allah dan rasul-Nya; penganut kepercayaan di luar Islam, tetapi di Indonesia, konotasi yang ditimbulkan kata kafir masih sangat negatif. Jadi sebisa mungkin jangan terlalu banyak dipakai. Atau kalau bisa, tidak usah digunakan sekalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H