Mohon tunggu...
Agus Ferdinand
Agus Ferdinand Mohon Tunggu... profesional -

Tertarik dengan sains, sejarah, peta, membaca, dan jalan2

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Desain Maskot Asian Games ke-18 dan Jebakan Desain yang Terlalu Antroposentris

30 Desember 2015   23:47 Diperbarui: 31 Desember 2015   00:20 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber : Pribadi"][/caption]Salam.

Panitia Penyelenggara Asian Games 2018 Jakara-Palembang baru saja merilis desain maskot yang dinamai "Drawa". Maskot "Drawa" diklaim mewakili kekhasan Indonesia, yaitu fauna (Burung Cendrawasih), dan olahraga (Beladiri Pencak Silat). Entah siapa desainer maskot ini, yang jelas kritik pun bermunculan satu demi satu kepada penampilan Si Drawa, khususnya dari para netizen.

[caption caption="Sumber ; sport.detik.com"]

[/caption]

Saya pribadi punya pandangan yang tidak jauh beda dengan banyak praktisi dan pengamat desain yang lain. Desain Drawa secara teknik memang bisa dikatakan ketinggalan zaman (kalau tidak mau dikatakan kuno). Hal ini bisa dinilai dari penggunaan teknik warna blok dua dimensional yang kaku, serta keberadaan outline hitam sebagai pembatas objek. Namun keter-jadoel-an teknik tadi baru satu hal.

Hal lain yang lebih mendasar adalah betapa seringnya desain maskot-maskot kita (khususnya maskot acara berbau "Plat Merah") yang cenderung terjebak dalam solusi desain antroposentrik (selalu harus mirip manusia). Hal yang paling jelas dari ciri antroposentrik adalah maskot yang HARUS SELALU MEMAKAI PAKAIAN. Jebakan antroposentrik (sadar tidak sadar) juga mempengaruhi desain proporsi si maskot. Efeknya mulai dari postur, cara berdiri, hingga bentuk kaki dan tangan yang dibuat mirip manusia (bipedal).

Selain itu, ada kecenderungan untuk mengakomodasi banyak sekali elemen desain secara harafiah. Akibatnya, maskot jadi terlihat telalu ramai, ruwet, dan "mekso" karena ada berbagai macam tetek-bengek yang harus diwakili (secara maknawi?) dalam desain maskot. Padahal ada banyak solusi desain yang mencoba membebaskan imajinasi. Di ajang internasional, desain-desain maskot yang lebih "liar", "dinamis", namun tetap sederhana dan meminimalkan kesan "mirip manusia" sudah banyak dikreasikan. (Googling saja di internet mulai dari maskot Olympiade hingga Piala Dunia).

Desain sebuah maskot untuk ajang selevel Asian Games sebenarnya berpotensi besar menjadi representasi sejauh mana imajinasi berperan dalam peradaban bangsa kita (coba bandingkan Drawa dengan "Ato Nik Kaz", maskot Piala Dunia Korea-Jepang 2012). Maskot yang terkesan apa adanya tentu akan menciptakan kesan bahwa daya dan selera kita sudah mentok. Padahal ada berjibun desainer grafis mumpuni di negeri ini. Secara khusus, desain maskot yang "up to date" tentunya akan bepengaruh positif baik secara marketing maupun bisnis (penjualan merchandise, dll)

Selain menampilkan kritik, tangan saya juga gatal untuk berorat-oret imajinatif tentang bagaimana pendekatan yang (menurut saya) seharusnya digunakan pada desain Si Drawa. Sketsa konsep saya adalah gambar paling atas. Berikut pemaparannya.

1) Pertama-tama saya relatif sepakat dengan penggunaan nama Drawa (entah apapun artinya, lumayan ear-catching) serta bagaimana desainer mengangkat burung langka Cendrawasih.

2) Filosofi dan makna mendalam desain maskot agak saya kesampingkan terlebih dahulu.

3) Saya menghilangkan unsur2 yang terlalu antroposentrik seperti pakaian, tali medali, hingga bentuk kaki dan tangan yang terlalu besar mirip manusia.

4) Saya menggunakan pendekatan "dekonstruksi" (atau apalah namanya) untuk mengkreasi bentuk kaki, ekor, surai, dan sayap Si Drawa. Saya bertanya-tanya juga sebelum menggores;, "Apakah kaki, sayap, dan ekor HARUS SELALU menempel di badan?" dan "Apakah sayap dan ekor harus lebar seperti penampakan asli Cendrawasih?". Pertanyaan2 liar itu saya timbulkan untuk menciptakan solusi desain maskot yang lebih imajinatif dan jauh dari kesan kolot/formal.

5) Untuk masalah warna, beberapa bagian tubuh Drawa masih menggunakan warna mirip Cendrawasih. Namun untuk kaki, ekor, dan mata, saya menggunakan warna biru yang bagi saya mewakili sifat "Paradise" dari burung khas Papua ini.

6) Sepertinya dari dulu desain maskot Asian Games memang harus selalu menampilkan logo "Matahari Merah". Kali ini saya taruh di bagian dada Si Drawa.

7) Sekali lagi, maksud orat-oret ini bukan untuk menekankan bentuk morfologis maskot itu sendiri. Saya memang sengaja menampilkan eksekusi desain minim-antroposentrik yang agak ekstrim (kaki dan ekor terpisah dari badan). Namun yang jauh lebih penting adalah pendekatan desain yang diterapkan terhadap Si Drawa (dan mungkin maskot2 lainnya) yang tidak harus selalu ruwet, harafiah, dan mirip manusia.

Terakhir, Cendrawasih diberi julukan sebagai "Burung Firdaus". Julukan itu sebenarnya bisa menjadi "keyword" bagi desainer untuk mengeksplorasi desain yang lebih dinamis, liar, imajinatif, namun tetap ikonik bagi Si Drawa.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun